SERAYUNEWS — Rohana Kudus atau Sitti Rohana adalah jurnalis pertama Indonesia yang menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe.
Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912. Surat kabar ini terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman. Kata Sunting dipilih karena berarti perempuan dan Melayu mewakili nama wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini untuk perempuan di seluruh tanah Melayu.
Rohana lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan, seorang Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan ibunya bernama Kiam.
Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar membaca.Meski tak mengenyam bangku sekolah formal, atas didikan ayahnya, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu.
Di usia tujuh tahun, Rohana sudah bisa menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Ia juga sudah bisa berbahasa Belanda di usia 8 tahun.
Perjalanan jurnalistiknya berawal saat Rohana mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, di Padang.
Rohana menyampaikan keinginannya agar perempuan memperoleh kesempatan mendapat pendidikan sama seperti lelaki. Ia juga mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan.
Maharadja yang wartawan senior itu tersentuh membaca surat Rohana. Ia rela ke Koto Gadang untuk menemui Rohana.
Tak sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe, Maharadja mengajak Rohana menerbitkan surat kabar yang khusus untuk perempuan. Dari sini lahirlah surat kabar Soenting Melajoe.
Kiprah Rohana terus berkembang. Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian terbitan Cinta Melayu di Padang.
Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.
Pada tanggal 17 Agustus 1972, Rohana Kudus meninggal dunia. Atas kiprahnya, dia pun sukses meraih penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia pada tahun 1974 dan mendapat pengukuran sebagai Perintis Pers Indonesia pada 1987. Akhirnya dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo tahun 2019.
Jika Rohana Kudus yang tidak sempat mendapatkan pendidikan formal, bisa dikenang sepanjang sejarah karena kecerdasannya. Kenapa kaum perempuan sekarang sudah mendapatkan pendidikan, namun tidak bisa seperti beliau?
Ayo perempuan Indonesia, menulislah! *** (O Gozali)