SERAYUNEWS– Konflik tanah di Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, semakin panas. Puluhan warga yang tinggal turun-temurun di atas tanah negara kini terancam tergusur setelah muncul klaim kepemilikan dari pihak lain. Situasi ini kian pelik karena kuasa hukum warga menyebut dugaan indikasi praktik mafia pertanahan yang harus segera diusut.
Kuasa hukum warga, Bambang Sri Wahono, menegaskan persoalan ini bukan perkara sederhana. Ia menduga telah terjadi penyalahgunaan sertifikat tanah hingga tanah negara bisa beralih menjadi kepemilikan pribadi.
“Sejumlah warga RT 05 menempati tanah eigendom ternyata dibuat sertifikat oleh penggugat. Ini sedang berproses di polisi apakah benar nyaplok dengan jual beli kepada negara atau bukan. Sampai hari ini negara Cilacap diam saja. Maka ini mau tak laporkan ke polisi, yaitu namanya mafia pertanahan,” ujarnya, Selasa (26/8/2025).
Bambang mengungkapkan, sejak lama warga memiliki dasar hukum yang jelas. Berdasarkan Keputusan Bupati Cilacap tertanggal 7 Februari 1989, rumah-rumah di Jalan Kokosan RT 05 RW XV mendapat izin pemutihan IMB di atas tanah negara. Dokumen resmi itu ditandatangani pejabat yang sah atas nama Bupati saat itu.
Namun kenyataannya, warga justru terdesak oleh munculnya sertifikat baru dari penggugat. Bahkan selain warga RT05, sejumlah warga RT04 juga ikut terdampak.
“Penggugat yang semula memiliki lahan 448 meter persegi tiba-tiba berubah menjadi 4.125 meter persegi. Ini jelas merugikan masyarakat,” tambahnya.
Kondisi tersebut membuat warga resah. Mereka meminta pemerintah daerah dan DPRD segera turun tangan agar tidak ada warga kecil yang kehilangan hak tinggal. “Warga menempati tanah negara, saya ingin dikomunikasikan dengan bupati dan wakil rakyat agar bergerak. Masa tanah negara dimiliki pribadi kok diam saja?” tegas Bambang.
Sementara itu, warga mengaku tidak sanggup jika harus meninggalkan rumah yang sudah ditempati turun-temurun. “Harapannya kami tetap tinggal di tempat yang sudah diwariskan dari orang tua kami terdahulu. Bapak saya saja usianya sudah 74 tahun, dan saya generasi keempat,” kata Sampurna Hadianto, salah satu warga terdampak.
Menurut warga, sengketa lahan yang mereka hadapi bukanlah persoalan baru. Perjalanan panjang sudah mereka tempuh sejak lebih dari satu dekade lalu, bahkan sempat memberi harapan ketika putusan pengadilan berpihak kepada mereka. Namun kenyataan berbalik, gugatan kembali dilayangkan, dan proses hukum yang berliku membuat posisi warga semakin terpojok.
“Gugatan masuk ke kami tahun 2017, tapi sebenarnya dulu tahun 2008 dimenangkan oleh warga. Lalu 2017 menggugat kembali sampai sekarang hingga PK kami kalah,” ungkapnya.
Hingga kini, proses masih berjalan. Pertemuan terakhir di Pengadilan Negeri Cilacap menyarankan penyelesaian melalui musyawarah. Namun, warga menegaskan jika jalan damai buntu, laporan ke kepolisian menjadi langkah terakhir.