SERAYUNEWS- Jagat dunia maya belakangan ini ramai membicarakan Grup Band Sukatani asal Purbalingga, berkat lagu mereka yang berjudul “Bayar, Bayar, Bayar”.
Para aktivis demokrasi menyanyikan lagu tersebut dalam aksi unjuk rasa dan mendadak viral, memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat.
Namun, viralnya lagu tersebut berujung pada polemik. Kelompok band Sukatani akhirnya menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan menarik semua unggahan terkait lagu tersebut dari dunia digital.
Selain itu, salah satu personelnya, Novi Citra Indriyati, mengalami konsekuensi lebih jauh, yakni dikeluarkan dari tempatnya bekerja sebagai guru.
Peristiwa ini pun menimbulkan gelombang simpati dan dukungan dari berbagai kalangan, baik dari aspek hukum, kebebasan berkesenian, maupun hak berekspresi.
Dalam konteks ini, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Prof. Dr. H. Fauzi, M.Ag., turut memberikan pandangan akademisnya terhadap fenomena ini.
Novi Citra Indriyati, yang akrab disapa Citra, merupakan lulusan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Saizu Purwokerto, angkatan 2012.
Sejak awal, Citra memang memiliki visi untuk menjadi pendidik, sebagaimana profil lulusan program studi pilihannya.
Ia berhasil menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu, termasuk dalam penyusunan skripsinya yang diuji langsung oleh Prof. Fauzi.
Selain fokus pada akademik, Citra juga aktif dalam pengembangan minat dan bakat seni di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Didik.
Di sinilah ia menempa diri dalam dunia seni, khususnya teater dan musik. Perannya dalam dunia seni kampus cukup signifikan, bahkan sempat menjabat sebagai Ketua UKM Teater Didik Periode 2014-2015.
Kiprah Citra dalam dunia seni dan pendidikan ini menjadi pondasi kuat dalam perjalanan karirnya. Ia bukan sekadar seorang guru, tetapi juga seorang seniman yang menjadikan musik sebagai media berekspresi dan menyampaikan pesan sosial.
Viralnya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” mencerminkan bagaimana seni dapat menjadi sarana kritik yang efektif. Dalam hal ini, Citra sebagai pendidik memiliki sudut pandang tersendiri dalam menyampaikan pesan melalui musik.
Menurut Prof. Fauzi kritik melalui seni merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang sah dalam demokrasi, selama tetap mengedepankan etika dan nilai pendidikan.
“Bagi seorang pendidik seperti Novi Citra Indriyati, musik adalah medium penyampaian pesan, bukan ajang politik praktis. Jika ditelaah lebih dalam, lagu “Bayar, Bayar, Bayar” merupakan bentuk kritik terhadap oknum, bukan institusi secara keseluruhan,” ungkap Prof. Fauzi dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).
Hal ini menunjukkan bahwa kritik melalui seni musik tidak selalu berkonotasi negatif, melainkan dapat menjadi refleksi dari realitas sosial masyarakat.
Kritik dalam seni sudah lama menjadi bagian dari kebebasan berpendapat. Dalam hal ini, kritik melalui musik merupakan ekspresi autentik dari seorang pendidik yang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Setelah lagu tersebut viral, Sukatani memutuskan untuk meminta maaf dan menghapus unggahan terkait.
Bagi sebagian orang, permintaan maaf ini mungkin dinilai sebagai bentuk tekanan, tapi bagi Prof. Fauzi sikap ini justru menunjukkan kedewasaan seorang pendidik.
“Dalam dunia pendidikan, seorang pendidik selalu mengutamakan nilai moral dan karakter. Jika ada hal yang dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung, maka pendidik memiliki kesadaran untuk mengoreksi diri. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan dan tanggung jawab,” jelasnya.
Lebih jauh, permintaan maaf Sukatani juga menegaskan bahwa kelompok ini tidak memiliki motif politik tertentu.
Mereka berkarya dengan hati dan semangat berkesenian, bukan untuk kepentingan pragmatis politik.
Justru, sikap rendah hati ini semakin meneguhkan bahwa mereka adalah kelompok musisi independen yang berkarya berdasarkan keresahan sosial yang mereka alami.
Dukungan terhadap Sukatani terus mengalir dari berbagai pihak, baik dalam aspek hukum, kebebasan berekspresi, maupun kebebasan berkesenian.
Masyarakat melihat bahwa seni bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cerminan realitas sosial sehari-hari.
“Pendidikan tidak hanya bisa dilakukan di ruang kelas, tetapi juga melalui seni dan budaya. Musik sebagai media edukasi dan kritik harus tetap kita dukung, karena ini adalah salah satu cara membangun kesadaran sosial,” tegas Prof. Fauzi.
Dengan demikian, polemik lagu “Bayar, Bayar, Bayar” yang melibatkan Sukatani, khususnya Novi Citra Indriyati, bukan hanya menjadi peristiwa viral biasa.
Namun, ini juga momentum refleksi bagi semua pihak tentang pentingnya kebebasan berekspresi dalam bingkai nilai pendidikan dan seni.
Sebagai bangsa yang menjunjung demokrasi, sudah seharusnya kritik melalui musik tidak serta-merta negatif, melainkan jadi bahan evaluasi bersama demi kemajuan masyarakat.
Seni dan pendidikan harus terus berjalan beriringan sebagai pilar penting dalam membangun bangsa yang lebih baik.***