Purwokerto, serayunews.com
Pakar komunikasi yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Zen Amirudin S.Sos,M.Med.Kom mengatakan, pemicu tragedi tersebut sebenarnya sangat sederhana dan jika antisipasi awal dari pihak panpel maupun keamanan sudah dilakukan maksimal dan detail, maka tragedi tersebut bisa dihindari.
“Kondisi di stadion hanya ada suporter tunggal yaitu Aremania, ketika Arema kalah, suporter kecewa, tetapi mereka tidak tahu harus mengkonfirmasi ke siapa. Dalam kondisi kecewa dan emosi, mereka dihadapkan dengan aparat dan muncul tindakan-tindakan pengamanan yang sedikit represif, akhirnya terjadilah kekacauan,” kata Zen usai mengunjungi salah satu korban di Malang, Minggu (2/10/2022).
Lebih lanjut Zen menjelaskan, keberadaan suporter tunggal ini, kemungkinan membuat aparat maupun panpel tidak merasa perlu untuk melakukan antisipasi maksimal. Padahal meskipun berasal dari satu kubu, namun massa itu heterogen dan cenderung menjadi irasional ketika dipertemukan kondisi yang menguras emosi mereka.
Dari sisi komunikasi, tragedi tersebut seharusnya bisa diantisipasi dengan lebih maksimal, mengingat baik aparat maupun panpel sudah mengenal karakter Aremania dan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika jago mereka kalah di kandang sendiri. Salah satu antisipasi yang bisa dilakukan adalah dengan meredupkan pemantiknya.
“Misalnya pada stadion dipasang pengeras suara yang mampu menjangkau seluruh tribun dan sebelum pertandingan suporter diajak untuk menjaga kondusivitas. Saat jeda di pertengahan pertandingan, kembali panitia mengajak komunikasi suporter dengan hal-hal yang menyejukkan, bisa bersholawat bersama misalnya, atau menghadirkan tokoh setempat untuk memberikan wejangan sekilas, intinya menghadirkan suasana yang sejuk sepanjang pertandingan,” jelasnya.
Pihak panitia juga bisa membangun komunikasi dengan suporter, melalui koordinator pada tiap-tiap tribun. Keberadaan korlap pada tiap tribun ini memang membuat panitia harus mengeluarkan budget ektra, namun semua itu demi keamanan. Sebab, massa yang cair akan sulit dikendalikan dan mereka juga tidak teridentifikasi dengan jelas, baik dari sisi usia maupun pendidikan.
Kepala Pusdiklat SDM UMM ini juga menyoroti kondisi stadion yang belum memenuhi standar FIFA. Salah satunya adalah pintu keluar tribun yang masih minim. Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya korban dalam peristiwa Sabtu malam lalu. Saat kondisi mulai memanas, timbul kegaduhan, aparat menembakan gas air mata. Massa yang merasa terancam berebut untuk keluar, sementara kondisi pintu keluar tidak bisa mengakomodir jumlah massa yang begitu banyak. Sehingga terjadi saling dorong, saling injak dan sebagainya yang kemudian sampai menimbulkan korban jiwa.
“Gas air mata itu tidak membunuh, bahkan saya pernah berbicang dengan aparat kepolisian, jika kita terkena gas air mata, cukup diam dan menunduk sebentar, maka akan hilang efeknya. Nah, literasi ini juga tidak diketahui oleh para suporter, sehingga mereka langsung panik dan berebut keluar stadion. Yang terjadi kemudian bottleneck, seperti leher botol yang tersumbat,” tuturnya.
Zen berharap semua pihak mengambil pelajaran dari tragedi Kanjuruan ini, sehingga ke depan semua bentuk kecerobohan bisa diminimalkan. Sejak dulu, suporter Arema dan Persebaya mempunyai sejarah emosional yang tidak bagus. Dalam konteks, psikologi massa, seharusnya aparat bisa memahami dan membuat langkah antisipasi yang lebih komprehensif.
“Jadi dalam tragedi Kanjuruan, sebenarnya siapa melawan siapa? Karena hanya ada suporter tunggal di lokasi,” ucapnya.