SERAYUNEWS- Kabar duka kembali menyelimuti Nahdlatul Ulama (NU) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI serta masyarakat Muslim Indonesia.
Gus Alamudin Dimyati Rois, putra ulama kharismatik Mbah Dimyathi Rois dari Kaliwungu, Kendal, meninggal dunia dalam kecelakaan tragis.
Insiden ini menambah deretan panjang tokoh agama yang wafat di jalan raya, mayoritas akibat kecelakaan yang disebabkan oleh sopir yang mengalami microsleep akibat kelelahan.
Akademisi UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy dalam artikelnya menyebut, tragedi semacam ini bukan sekadar berita duka, melainkan alarm keras bagi kita semua.
Hal ini untuk merefleksikan kembali relasi antara para kiai dan sopir mereka, baik dari aspek sosial, hukum Islam, maupun hukum positif di Indonesia.
Dalam tradisi pesantren, kiai memiliki posisi yang sangat dihormati, bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karismanya. Para santri dan sopir yang melayani para kiai menjalankan tugas mereka dalam bingkai “khidmah” atau pengabdian penuh.
Rasa hormat yang mendalam membuat para sopir sering kali segan untuk meminta izin berhenti atau beristirahat, meskipun kondisi tubuh mereka sudah sangat lelah.
Fenomena ini menunjukkan adanya dilema antara menjaga adab terhadap kiai dan risiko keselamatan.
Ironisnya, adab yang dijunjung tinggi justru dapat menjadi bumerang ketika sopir menahan kantuk demi menghormati sang kiai, hingga berujung pada kecelakaan tragis.
Dalam Islam, menjadi sopir seorang ulama adalah bentuk khidmah yang sangat mulia. Namun, ini juga merupakan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam tidak pernah membenarkan adab yang melampaui batas hingga membahayakan nyawa. Maqashid syariah atau tujuan utama syariat menempatkan keselamatan jiwa (hifzh an-nafs) sebagai prioritas tertinggi.
Oleh karena itu, menghentikan perjalanan demi keselamatan adalah bagian dari amanah yang harus dijaga, bukan bentuk pembangkangan.
Secara hukum positif, tanggung jawab sopir diatur melalui UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 310 menegaskan bahwa kelalaian yang menyebabkan kecelakaan dapat dikenai sanksi pidana, mulai dari kurungan hingga denda berat, terutama jika kecelakaan tersebut merenggut nyawa.
Microsleep akibat kelelahan merupakan bentuk kelalaian yang diakui secara hukum.
Oleh sebab itu, sopir yang memaksakan diri tetap berkendara dalam kondisi mengantuk dapat dijerat hukum, meskipun ada tekanan psikologis akibat relasi hierarkis dengan tokoh yang disopiri.
Ini menandakan pentingnya reformasi budaya dan komunikasi antara sopir dan kiai.
Untuk mencegah tragedi serupa, beberapa langkah konkret harus segera dilakukan:
Kematian memang tak bisa dielakkan, namun ikhtiar untuk menjaga keselamatan adalah perintah agama dan kebutuhan hidup bersama.
Kesadaran bahwa sopir juga manusia dengan keterbatasan fisik harus menjadi bagian dari nilai yang dijunjung dalam tradisi Islam dan hukum negara.
Para kiai adalah tiang spiritual umat. Kehilangan mereka dalam kecelakaan yang dapat dicegah adalah tragedi yang seharusnya memicu perubahan budaya dan kebijakan keselamatan.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga, agar kita semua lebih peka terhadap keselamatan bersama.
Mari mulai dari langkah sederhana: berani berkata, “Kita istirahat dulu.” Kadang, keputusan kecil itu menyelamatkan nyawa dan masa depan umat.