SERAYUNEWS – Seorang Kepala Desa (Kades) asal Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah saat ini sedang mengajukan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kades tersebut bernama Edi Iswadi yang merupakan Kepala Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kebumen. Dia mempersoalkan tentang masa cuti calon petahana.
Materi yang dia uji adalah Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Selanjutnya, sidang perdana pengujian materiil ini berlangsung di ruang sidang Panel MK, pada Senin, (4/11/2024). Lalu, permohonan ini tercatat dalam Perkara Nomor 154/PUU-XXII/2024.
Dalam persidangan yang Ketua MK Suhartoyo pimpin, Sulthoni selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan alasan pengujian materiil UU Pilkada tersebut.
Sulthoni mengatakan bahwa ketentuan mengenai cuti selama masa kampanye bagi Calon Kepala Daerah Petahana tidak sesuai dengan prinsip moralitas dan rasionalitas.
Walaupun, tujuan pembuat undang-undangan adalah untuk membatasi potensi penyalahgunaan wewenang, hal ini justru menjadi kontraprodukti. Hal tersebut karena mengizinkan petahana untuk kembali menjabat pada masa tenang.
Situasi tersebut menurut Kades Edi Iswadi dan pihak kuasa, membuka peluang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan yang sistematis, terstruktur, dan masif, terutama pada saat-saat kritis.
Contohnya yaitu masa pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Ketentuan ini, lanjut pemohon, menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, melanggar moralitas yang seharusnya seorang kepala daerah junjung tinggi karena terikat pada sumpah jabatan.
Berikutnya, dari perspektif keadilan, pemohon merasa aturan cuti yang terbatas pada masa kampanye saja menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat dia terima, baik sebagai kepala desa maupun pemilih.
Sebagai kepala desa, pemohon merasa berpotensi terkena dampak dari penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan. Calon kepala daerah petahana berpotensi melakukan intervensi untuk mengamankan kontestasinya.
Sebagai pemilih, pemohon mengharapkan adanya proses pemilihan yang jujur, bebas, dan adil atau terkenal dengan istilah jurdil dalam asas Pemilihan Umum.
Hak ini tentu bertujuan agar tidak adanya pengaruh atau intervensi dari calon kepala daerah petahana. Pun demikian, ini harus sesuai dengan jaminan yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Lebih lanjut, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena melanggar hak konstitusional pemohon seperti dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Tak hanya gagal mendorong pelaksanaan Pilkada Serentak yang jurdil, tetapi ini juga memberikan kesempatan kepada petahana untuk memanfaatkan kekuasaan negara sebagai alat kemenangan.
Dalam petitum, para pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut.
“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang mencalonkan kembali di daerah yang sama wajib memenuhi ketentuan untuk menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya,” ungkap Pemohon.
Sementara itu, menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk memperkuat teori atau doktrin agar dapat meyakinkan sembilan Hakim Konstitusi.
KemudiN, Daniel juga menyarankan Pemohon untuk mencermati undang-undang MK serta menguraikan kerugian konstitusional yang pihaknya alami.
Adapun, majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Dengan catatan, perbaikan permohonan paling lambat pada Senin 18 November 2024 mendatang.
***