Purbalingga, serayunews.com
Beberapa tahun belakangan, Handy Craft mulai menjadi tren, bagi anak muda. Mereka yang enggan memiliki pekerjaan yang terikat waktu, cenderung memilih menekuni wirausaha. Kaum ini ingin mengekspresikan ide-ide kreatifnya, dalam bentuk produk yang memiliki nilai jual.
Seperti Yogi yang telah bertahun-tahun menggeluti handy craft. Yogi telah mengalami jatuh bangun ketika bergelut dengan kerajinan tangan. Hingga pada tahun 2017, Yogi mencoba untuk membuat jam tangan dengan bahan baku kayu. Peluang itu, Yogi ambil dengan pertimbangan tidak sulit mendapat bahan baku di wilayah tempat tinggalnya.
“Ide untuk membuat kayu mulai sejak awal tahun 2017 sampai saat ini. Sudah mengalami kegagalan dalam menjalani usahanya di bidang handycraf,” katanya.
Yogi menceritakan, sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan produksi jam tangan kayu, dia pernah usaha pembuatan boneka Jepang. Usahanya itu mengalami penurunan tahun 2015, hingga tidak berproduksi lagi.
“Kemudian banting setir pada pemotongan ayam. Namun usaha ini tidak beda jauh dari sebelumnya,” ujarnya.
Awal tahun 2017, Yogi mendapatkan rekomendasi dari teman untuk membuat jam tangan dari kayu. Yogi pun tertarik dan mulai mempelajarinya. Bermodalkan internet, Yogi belajar cara pembuatan jam tangan. Perjalanannya pun tidak mulus. Jatuh bangun Yoi alami, selama percobaan membuat jam tangan.
Sekitar 1,5 tahun terus berproses, pertengahan tahun 2018 Yogi baru merasakan uang hasil penjualan. Sampai saat ini, penjualan dalam satu bulan sekitar 40 buah. Satu karya Yogi, dijual di kisaran harga Rp 400-500 ribu.
“Alhamdulillah penjualannya lumayan banyak, omzet sampai saat ini bisa mencapai 30 juta per bulannya,” kata alumnus SMK Kaligondang ini.
Menyesuaikan zaman, untuk sistem penjualan juga cenderung melalui pasar online. Pangsa pasarnya, kecenderungan dari kalangan anak muda di Indonesia.
“Pernah ada pelanggan dari Singapura, namun saya belum bisa melayani karena biaya ongkos kirim dan jamnya hampir sama, sehingga belum bisa dilakukan,” kata dia.
Bahan-bahan kayu yang Yogi butuhkan, merupakan kayu limbah. Dari limbah Yogi menyulap jadi karya yang berharga.
“Untuk finishing kami tidak mengunakan pewarna kayu asli, warna kayu dibiarkan secara natural. Takutnya jika memakai pewarna, ada kulit yang sensitif sehingga tidak ada pewarnaan, hanya pernis saja,” katanya.
Pembuatan jam tangan kayu ini, membutuhkan ketelatenan prima. Hal itu juga yang menjadikan tidak mudah merekrut orang. Sampai saat ini kerajinan jam kayu di Purbalingga masih sangat terbatas. Sebab, prosesnya membutuhkan ketelitian yang super.
“Hanya ada bantuan satu orang karyawan tetap, namun jika pesanan membludak kadang harus melibatkan tetangga workshopnya,” ujarnya.
Selain melalui penjualan secara online, untuk meningkatkan penjualannya Yogi sering mengikuti kegiatan festival-festival yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Berbagai penghargaan telah Yogi dapatkan. Misalnya, penghargaan dari JD.ID. Yogi juga sering join dengan beberapa temannya untuk membuat sebuah konten di berbagai platform media sosial.
“Untuk membuat sebuah kesuksesan, perlu ketelatenan, pantang menyerah dan melihat peluang pasar yang ada, jangan hanya mengandalkan bantuan pemerintah saja,” kata Yogi.