Advertisement
Advertisement
Purwokerto, seryunews.com
Sigit Fatoni (35), Ketua RW 5 Kelurahan Karangklesem, adalah salah satu inisiator pembuatan rumah sedekah itu. Pria yang akrab disapa Sigit ini mengaku dirinya terpikirkan membuat bank sampah warga pada tahun 2020 sekitar bulan Mei. Saat itu tengah memasuki masa pandemi Covid-19 di Indonesia tak terkecuali Kelurahan Karangklesem yang juga terkena dampaknya.
“Kemudian kita berpikir, karena pada saat itu banyak masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Akhirnya kita mencoba berbagai konsep bagaimana membantu masyarakat tetapi tidak membebankan masyarakat lainnya. Dari situ kita lihat, adanya sampah yang dibuang sembarangan, jelantah (minyak goreng bekas pakai, red) yang dibuang sembarangan juga. Kita tim akhirnya membahas, dari situ bisa mendapatkan dana untuk masyarakat tidak mampu,” ujar dia, Kamis (9/9) seusai meresmikan pembuatan bank sampah Rumah Sedekah Rongsok dan Jelantah.
Dari situ, Sigit kemudian bertemu dengan salah satu warganya yang memang berprofesi sebagai pencari rongsok. Dia dan timnya tak sungkan dan malu berkeliling ke rumah warga untuk mencari rongsok yang dapat didaur ulang. Kemudian diserahkan kepada warga yang berprofesi sebagai pengumpul rongsok.
“Jadi kita waktu itu minta bapak itu (pencari rongsok, red) tidak usah muter-muter mencari rongsok, bisa di rumah saja milah rongsok, hasilnya 50-50 persen. Jadi kalau dapat sejuta kami dapat 500 ribu,” kata dia.
Lambat laun, ternyata usahanya benar-benar membuahkah hasil. Dari 430 KK di RW 5, hampir 70 persennya telah menyumbangkan rongsok rumahan mereka. Bahkan setiap bulannya mereka mampu menghasilkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari penjualan rongsok tersebut.
“Kita kebetulan itu sifatnya memang sukarela, masyarakat mau ngasih boleh tidak juga boleh, kita fasilitasi semuanya dari botol (untuk jelantah, red) dan kandi (untuk rongsok yang dapat didaur ulang, red),” ujarnya.
Dalam satu bulan, pihaknya dapat mengumpulkan sebanyak delapan jerigen jelantah. Satu jerigennya bisa berisikan 18 liter, sedangkan satu jerigen dihargai Rp 100 ribu.
“Kita kalau jelantah bisa dijual sebulan sekali, kalau rongsok itu sekitar dua bulan sekali, bisa sampai satu juta lebih. Biasanya total sebulan kami bisa dapat Rp 2 juta,” kata dia.
Karena membutuhkan lahan yang lebih besar lagi, mereka akhirnya pun meminta tolong kepada salah satu warga, untuk meminjam tanahnya dibuatkan bank sampah. Hingga akhirnya ada seorang warga yang meminjamkan tanahnya untuk pembuatan bank sampah.
“Setelah kami komunikasikan akhirnya dipersilakan. Saya yakin lima tahun di sini tidak akan ada masalah,” ujarnya.
Selama ini, pihaknya telah membantu sejumlah masyarakat Kelurahan Karangklesem, dari mulai mereka yang terdampak Covid-19, kemudian mereka yang mengalami positif Covid-19, bahkan hingga ada bantuan beasiswa bagi masyarakat.
“Kita kadang dalam satu RT itu bantu minimal dua orang, mereka yang secara ekonomi tidak mampu, ataupun beasiswa pendidikan. Satu orang bervariasi dari mulai Rp 50-80 ribu untuk uang tunainya, itu sembakonya nominalnya sampai Rp 70-80 ribu. Kalau beasiswa kami berikan Rp 200 ribu,” kata dia.
Meski membutuhkan dana, namun Sigit memastikan untuk jelantah yang mereka jual tidak asal-asalan. Dimana mereka menjual jelantah hanya untuk perusahaan ataupun pihak yang memiliki izin resmi untuk mengelola jelantah.
“Kita pastikan jelantah itu tidak didaur ulang untuk digunakan memasak lagi. Jadi waktu itu kita tanya dulu izinnya, ternyata untuk biosolar kita kirimnya ke Surabaya,” kata dia.
Mengumpulkan jelantah, selain harganya yang lumayan, menurutnya juga dapat menyelamatkan lingkungan. Sepanjang yang Ia tahu, jelantah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
“Dari informasi yang saya dapat, jika dibuang ke tanah itu kan tanahnya jadi tidak subur, apalagi ke selokan dan sungai, karena memang susai terurai. Di sini selain mengedukasi masyarakat juga menyelamatkan lingkungan,” ujarnya.