SERAYUNEWS— Pada 7 Maret 322 SM Aristoteles meninggal. Selain filsafat, murid dari Plato ini banyak meninggalkan pengetahuan berharga. Jadi, wajar jika kemudian dia mendapat julukan sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan.
Namun, banyak juga warisan kekeliruan yang ditinggalkannya. Apa saja itu?
Bagi Aristoteles, perempuan adalah kaki-kaki yang mengalami mutilasi. Apabila laki-laki dipotong alat kelaminnya, hal ini tidak akan membuat laki-laki menjadi botak, atau suaranya menjadi pecah, tetapi laki-laki tersebut akan menjadi feminim.
Secara alami perempuan merupakan makhluk yang tidak dewasa, kurang, lemah, dan cacat, memiliki gigi lebih sedikit daripada laki-laki.
Patah hati, sakit hati, hati berdebar dan berbesar hati juga merupakan warisan kekeliruan Aristoteles dalam meyakini bahwa pusat perasaan manusia berada di jantung. Kemudian, Maya Suprana menerjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Indonesia sebagai hati.
Istilah hati berdebar-debar juga pada hakikatnya keliru. Yang bisa berdebar apalagi berdebar-debar sebenarnya bukan hati, tetapi jantung.
Akibat Aristoteles merasa jantungnya berdebar-debar pada saat sedang marah atau jatuh cinta, ia menyimpulkan bahwa jantung adalah pusat perasaan.
Kini, kita semua tahu bahwa pusat perasaan berada di otak, tapi kita tetap menyebut diri kita bukan patah otak, tetapi patah hati pada saat cinta kita ditolak oleh insan yang kita cintai.
Aristoteles juga keliru dalam menduga bahwa kecepatan benda yang jatuh ke permukaan bumi akibat daya tarik bumi adalah konstan.
Meski sudah Galileo Galilei koreksi, yang menginspirasi teori relativitas Albert Einstein, masih banyak dari kita mungkin masih sepaham dengan dugaan keliru Aristoteles tentang kecepatan benda jatuh adalah konstan.
Galileo menyatakan pendapat Aristoteles mengenai perbedaan kecepatan jatuh suatu benda akibat perbedaan berat adalah keliru. Dua benda yang beratnya berbeda akan jatuh dengan laju yang sama dan mencapai permukaan tanah pada waktu yang sama.
Percobaan ini menunjukkan kekeliruan Aristoteles yang menyatakan bahwa benda dengan massa yang lebih berat akan jatuh lebih cepat dibandingkan dengan benda yang lebih ringan.
Pernyataan dari percobaan Galileo ini kemudian menggantikan pernyataan Aristoteles yang pada masanya masih menjadi pandangan utama bagi masyarakat umum.
Aristoteles melakukan pengamatan bahwa buah apel bisa spontan memunculkan belatung. Kemudian, dia berkesimpulan kehidupan berasal benda mati.
Kini, kita semua sadar bahwa belatung muncul bukan secara ujuk-ujuk tanpa sebab-musabab. Namun, hal itu akibat ada lalat betina atau serangga lain berhasil menyelundupkan telur-telurnya ke dalam buah apel.
Aristoteles juga mengamati belut. Saat memotong seekor belut, ia tidak menemukan sperma dan telur seperti yang ia temukan di dalam ikan lain. Dari sana, Aristoteles berkesimpulan bahwa belut tidak melakukan reproduksi. Hewan ini secara spontan berasal dari lumpur.
Tidak cukup sampai di sini, ia juga mengatakan ada beberapa hewan lain, seperti lalat, kutu, tiram, kerang, yang secara spontan dihasilkan dari benda mati. Baru kemudian pada tahun 1668, Francesco Redi seorang ilmuwan Italia, menunjukkan bahwa lalat tidaklah tercipta dari daging busuk, melainkan karena ada lalat lain yang bertelur di atas daging tersebut.
Aristoteles berpikir bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Kemudian, matahari, bulan, planet, dan bintang-bintang berputar mengitari bumi. Teori ini orang percaya hingga kurun waktu yang sangat lama.
Hingga kemudian, para astronom lain seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler dapat menunjukkan bahwa pemikiran Aristoteles adalah salah. Selain itu, Aristoteles juga memiliki keyakinan bahwa benda-benda langit itu hidup. Mereka adalah makhluk hidup yang paling sempurna seperti dewa, maka dari itu benda-benda langit dapat berada di luar angkasa tanpa memerlukan sayap.
Aristoteles pernah berpendapat bahwa beberapa orang secara alami memang terlahir sebagai budak, sehingga pantas diperbudak.
Orang-orang yang ia anggap secara alami memang pantas diperbudak adalah tipe orang yang memiliki kemampuan untuk menerima perintah, tetapi tidak cukup pintar untuk berpikir sendiri.
Aristoteles juga menyatakan bahwa alam semesta, termasuk bumi dan seisinya telah ada seperti sekarang sejak zaman dahulu dan akan seperti ini selama-lamanya. Ia tidak mempertimbangkan mengenai teori evolusi sama sekali, padahal pada zaman itu para penjelajah telah menemukan fosil hewan-hewan, seperti fosil ikan dan kerang yang orang temukan di gunung ataupun gurun.
Walau ada kekeliruan, jasa Aristoteles bagi peradaban tak terhindarkan. Gus Dur pernah bercerita, pada tahun 1979 dirinya pernah berkunjung ke Maroko. Di salah satu masjid negara setempat ia mendapati sebuah kitab terjemahan arab, yaitu kitab etika karangan Aristoteles.
Gus Dur menangis melihat kitab itu.
“Kenapa Anda menangis?” tanya sang imam masjid.
“Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan jadi muslim,” jawab Gus Dur.*** (O Gozali).