SERAYUNEWS – Kejadian keracunan makanan akibat kontaminasi bakteri B. cereus kembali terjadi di Indonesia. Belum hilang dalam ingatan kita tentang kasus keracunan masal pada jamaah pengajian di Desa Desa Krecek, Badas, Kabupaten Kediri, kini terjadi lagi kasus keracunan makanan dengan korbannya adalah anak-anak sekolah yang mengkonsumsi snack yang di-import dari China, yaitu Latiao.
Menurut Roman Kierst dan yumsbox.com, Latiao atau “potongan pedas” adalah snack yang dipopularkan pada tahun 1990-an di Provinsi Hunan, China. Pada awalnya, snack ini terbuat dari tepung kacang kedelai (kulit tahu), gandum, cabai, dan campuran rempah-rempah khas negeri tirai bambu. Namun dimodifikasi menggunakan tepung terigu akibat adanya banjir besar di Hunan yang menjadikan stok kacang kedelai sangat terbatas, sulit diperoleh dan harganya mahal.
Latiao dibuat dari adonan tepung yang padat untuk kemudian diolah, dimasak menggunakan mesin bertekanan. Setelah itu, adonan yang memanjang mirip dengan gluten gandum dipotong pendek-pendek menggunakan gunting dan diberi bumbu serta air cabai dengan tingkat kepedasan yang berbeda-beda.
Sejak pertama kali dibuat dan dipasarkan, latiao dianggap sebagai makanan sampah karena nilai gizinya yang rendah dan banyak dikeluhkan oleh orang tua siswa dan guru di sekolah. Selain itu, tempat dan proses produksinya dulu juga tidak higienis, dan para produsen nakal sering menambahkan bahan-bahan berbahaya yang dilarang digunakan dalam makanan dan tidak masuk dalam kategori food grades.
Latiao merupakan makanan yang tidak sehat karena mengandung banyak lemak, gula, garam, pemanis, dan pengawet dengan nilai kalori mencapai 500 kalori per 100 g sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun demikian, snack ini tetap diburu dan disukai oleh anak-anak di negeri asalnya sana.
Adanya perbaikan teknologi dan quality control yang ketat, serta adanya edukasi yang masif tentang proses produksi latiao yang baik, menjadikan konsumen mulai mengubah pandangan mereka tentang latiao menjadi makanan yang sehat, layak dikonsumsi dan semakin popular, serta akhirnya dapat diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.
Tepung terigu sebagai bahan baku latiao merupakan salah satu jenis bahan yang mudah terkontaminasi oleh bakteri, mengingat tepung ini mengandung banyak nutrisi khususnya karbohidrat yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri. Atas dasar itulah, maka bakteri B. cereus dapat tumbuh subur di dalam latiao.
Meskipun snack ini mengandung garam, cabai dan juga bahan pengawet yang dapat menghambat atau mematikan bakteri, tetapi bakteri B. cereus mampu bertahan hidup di dalamnya. Pada awalnya, bakteri B. cereus banyak ditemukan di tanah atau debu, dan dengan bantuan angin atau akar sayuran, bakteri ini kemudian mengkontaminasi bahan makanan yang terbuat dari olahan beras atau tepung dan tumbuh cepat pada suhu ruang.
Bakteri B. cereus mampu menyebabkan keracunan makanan dalam bentuk sindrom diare dan sindrom emetik. Sindrom diare sering dikaitkan dengan konsumsi daging, susu, sayuran, dan ikan yang sudah terkontaminasi, sedangkan sindrom emetik dikaitkan dengan muntah-muntah yang dialami oleh korban keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung sel B. cereus atau senyawa toksinnya.
B. cereus memiliki tiga senjata utama untuk menyebabkan keracunan makanan pada manusia, yaitu endospora, biofilm, dan senyawa toksin (racun). Endospora merupakan struktur khusus yang terdiri atas beberapa lapis dinding sel dan memiliki ketahanan yang sangat tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim seperti nutrisi yang terbatas, kekeringan, panas, radiasi sinar UV, tekanan osmotik, dan juga adanya bahan kimia yang bersifat bakteriostatik (menghambat bakteri) atau bakterisidal (membunuh bakteri).
Ketahanan yang tinggi dari endospora ini menjadikan proses sterilisasi tidak bermakna dan makanan akan tetap mengandung endospora yang sewaktu-waktu dapat berkecambah menjadi sel vegetatif B. cereus. Terdapat tiga strategi untuk menginaktivasi dan mematikan endospora, pertama adalah dengan melakukan pemanasan berulang pada suhu tinggi (tyndalisasi), memberikan kesempatan endospora untuk bersporulasi menjadi sel vegetatif yang lebih sensitif dan tidak tahan panas sehingga mudah dimatikan. Kedua adalah dengan penambahan garam NaCl konsentrasi tinggi, yang terbukti mampu menghambat pematangan, pembentukan struktur, dan menurunkan kepadatan endospora sehingga dapat dimatikan pada suhu tinggi. Ketiga adalah menurunkan aktivitas air (AW) yang dapat merusak membran pada endospora dan mempercepat sporulasi sehingga sel-sel vegetatif jadi lebih cepat tumbuh dan lebih cepat untuk dimatikan.
Pada kondisi ekstrim, sel-sel vegetatif dari bakteri B. cereus akan mengalami kematian. Tetapi sebelum mati, akan membentuk endospora terlebih dahulu yang bersifat dorman (fase istirahat). Setelah kondisi lingkungannya membaik, endospora akan berkecambah (sporulasi) membentuk sel bakteri yang baru, memperbanyak diri, dan memproduksi senyawa toksin dan biofilm.
Biofilm, merupakan lapisan khusus terdiri atas matriks kimiawi yang dihasilkan oleh konsorsium bakteri dan melekat pada substrat serta berfungsi untuk melindungi sel-sel bakteri dari senyawa bakteriostatik atau bakterisidal. Biofilm merupakan sumber yang dapat mengkontaminasi makanan selama proses pengolahan dan penanganan produk makanan. Adanya biofilm akan mencegah, menonaktifkan dan menghindarkan bakteri dari obat-obatan atau senyawa antibiotik yang dikonsumsi oleh korban keracunan. Senyawa aktif dari obat atau antibiotik tersebut tidak mampu masuk menembus lapisan biofilm sehingga sel-sel B. cereus tetap aman, dapat tetap tumbuh dan bereproduksi secara normal serta menghasilkan senyawa racun.
Toksin merupakan produk metabolit yang bersifat racun yang dihasilkan oleh bakteri B. cereus yang dapat dibedakan menjadi 2 yaitu enterotoksin dan toksin emetik. Toksin berupa enterotoksin yang meliputi enterotoksin hemolitik BL [hbl]; enterotoksin non-hemolitik [nhe]; enterotoksin FM, sitotoksin K [cytK], dan enterotoksin T [bceT], sedangkan toksin emetik berupa senyawa cereulide.
Diare pada korban keracunan umumnya disebabkan oleh adanya senyawa enterotoksin yang dihasilkan di dalam usus, sebagai akibat dari invasi dan pertumbuhan sel B. cereus, atau akibat adanya endospora di dalam usus setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Korban keracunan yang mengalami muntah-muntah itu disebabkan oleh cereulide yang bersifat termostabil, tahan asam dan terbentuk sebelumnya. Cereulide diproduksi pada akhir fase pertumbuhan eksponensial dari B. cereus di dalam makanan.
Meskipun gejala keracunan makanan yang disebabkan oleh B. cereus ini ringan dan jarang menimbulkan korban jiwa, namun kita harus tetap waspada. Toksin emetik dari B. cereus telah dikaitkan dengan kasus gagal hati. Jumlah sel bakteri yang mampu menimbulkan keracunan pada manusia berkisar antara 105 sampai 108 sel/gram makanan.
Kasus keracunan makanan sebenarnya dapat dicegah melalui proses pemasakan yang benar dan tepat, higienis, selalu menutup makanan, dan melakukan penyimpanan makanan di suhu rendah (± 4 oC). Korban keracunan dan masyarakat harus diberi edukasi tentang pentingnya mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, tata cara menerima, menangani, mengolah, dan menyimpan makanan dan produk makanan yang tepat agar kasus keracunan makanan tidak terjadi kembali. (Kurniawan, S.Si., M.Si)