Banjarnegara, serayunews.com
Rakor ini untuk memantapkan program Gerakan Sayang Ibu dan Bayi (GSIB). Harapannya, mampu meningkatkan kualitas hidup perempuan, dan menekan angka Kematian Ibu dan Bayi (KIB) di Kabupaten Banjarnegara.
Sekretaris Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Drs Sila Satriana mengatakan, GSIB merupakan satu gerakan untuk memantapakan komitmen dan dukungan dari Kepala Daerah. Selain itu mendukung sektor terkait di lingkungan Pemda, masyarakat dan swasta. Tujuan dukungan itu adalah penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, memantapkan kesadaran dan kepedulian masyarakat.
“Hal ini penting untuk membangun mekanisme rujukan sesuai dengan kondisi daerah sehingga ibu dan bayi tidak terlambat ditolong oleh petugas kesehatan, dan untuk menguatkan kelembagaan GSIB meningkatkan jumlah dan kualitas kecamatan sayang ibu dan bayi,” katanya.
Dia menambahkan, Rakor GSIB juga bertujuan untuk meningkatkan peran GSIB dan mengevaluasi pelaksanaan program GSIB dalam upaya penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Banjarnegara.
“Angka kematian ibu di Kabupaten Banjarnegara tahun 2019 sebanyak 22 orang, tahun 2020 sebanyak 19 orang. Pada tahun 2021 sebanyak 41 orang dan tahun 2022 sebanyak 5 orang. Sedangkan Angka Kematian bayi tahun 2019 sebanyak 191 orang, tahun 2020 sebanyak 179 orang. Pada tahun 2021 sebanyak 183 orang, dan tahun 2022 ini sudah 78 anak,” katanya.
Sementara itu, Ketua TP PKK Kabupaten Banjarnegara, Lucia Tri Harso berharap, kegiatan Rakor GSIB kali ini dapat menjadi momentum, untuk menyusun rencana kerja yang strategis dan terpadu oleh seluruh anggota kelompok kerja tetap (Pokjatap) GSIB di Kabupaten Banjarnegara.
“Sehingga target tahun 2022 untuk menekan angka kematian ibu dan bayi dapat tercapai,” ujar Ibu Lucia Tri Harso.
Menurutnya, rendahnya kesehatan perempuan di Banjarnegara terindikasi dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) karena kehamilan, melahirkan, dan nifas.
Penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan Bayi di Banjarnegara, secara umum adalah kualitas hidup perempuan yang masih rendah.
“Rendahnya kualitas hidup perempuan Banjarnegara karena beberapa faktor, yakni pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Selain itu, faktor budaya yang kurang mendukung kualitas hidup perempuan. Sehingga masih terjadi kesenjangan kesetaraan dan keadilan gender. Saya berharap bersama-sama tidak lelah untuk menyampaikannya kepada masyarakat, terutama kepada ibu-ibu untuk selalu memantau di sekitarnya. Misalnya, seperti calon-calon ibu atau pengantin agar mereka mempersiapkan diri menjadi seorang ibu,” katanya.