SERAYUNEWS – Dokter residen di Bandung, Priguna Anugerah Pratama (PAP), diduga melakukan pemerkosaan terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
Namun, yang membuat publik semakin terkejut adalah dugaan bahwa pelaku memiliki kelainan seksual langka, somnophilia.
Kasus ini ramai menjadi menjadi perbincangan setelah akun Instagram @ppdsgram membagikannya pada Selasa malam, 8 April 2025.
Unggahan itu mengungkap bahwa pelaku merupakan mahasiswa Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) semester 2 di salah satu universitas ternama.
Ia melakukan aksinya di lantai 7 gedung RSHS pada pertengahan Maret 2025. Menurut pihak kepolisian, Priguna menggunakan obat bius jenis Midazolam untuk membuat korban tak sadarkan diri.
Ia mengajak korban yang saat itu sedang menjaga ayahnya ke ruangan pemeriksaan dengan alasan untuk uji crossmatch darah. Sang ayah membutuhkan transfusi darah. Di sinilah pelaku diduga melakukan aksi bejatnya.
Saat korban sadar beberapa jam kemudian, ia merasa nyeri di area tubuhnya dan segera melaporkan kejadian tersebut. Hasil visum menemukan adanya cairan sperma di bagian kemaluan korban.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Surawan, mengungkap bahwa Priguna mengidap kelainan seksual somnophilia—sebuah fetish atau ketertarikan seksual terhadap orang yang tidak sadar, tertidur, atau pingsan.
Somnophilia adalah salah satu bentuk parafilia, yakni ketertarikan seksual yang tidak biasa atau menyimpang. Psikolog John Money mengenalkan istilah ini pertama kali pada tahun 1986.
Dalam somnophilia, seseorang mengalami gairah seksual terhadap individu yang sedang tidak sadar, seperti tertidur atau pingsan, dan tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar.
Dalam beberapa kasus ekstrem, pelaku somnophilia bahkan membuat korbannya tidak sadar dengan cara tertentu, seperti menggunakan obat-obatan, untuk memuaskan hasrat seksual.
Tak heran jika kondisi ini kerap kali berujung pada kejahatan seksual. Orang juga mengenal somnophilia dengan sebutan Sleeping Beauty Syndrome, mengacu pada kisah dongeng di mana sang pangeran mencium putri yang tertidur.
Namun dalam kenyataannya, kondisi ini bukan kisah romantis, melainkan bentuk penyimpangan yang dapat menimbulkan trauma berat bagi korban.
Dampak dari tindakan pelaku somnophilia sangat besar, khususnya bagi korban. Tidak hanya trauma fisik, tapi juga luka psikologis yang mendalam.
Aktivitas seksual tanpa persetujuan jelas masuk ke dalam kategori kekerasan seksual dan hukum mengaturnya secara tegas. Bagi korban, pengalaman ini bisa menghantui seumur hidup.
Terlebih jika pelaku adalah seseorang yang seharusnya dipercaya, seperti tenaga medis. Kepercayaan yang dikhianati bisa menambah luka emosional yang sulit dipulihkan.
Hal lain yang mengejutkan adalah pernyataan bahwa Priguna menyadari ia memiliki kecenderungan seksual tersebut.
Bahkan, menurut Kombes Surawan, pelaku sudah pernah berkonsultasi dengan psikolog mengenai kondisinya.
Ia tahu bahwa keadaannya berbeda, merasa tertarik secara seksual pada orang pingsan, dan mengaku pernah membicarakan hal itu secara profesional.
Namun, sayangnya, kecenderungan itu tidak ditangani hingga akhirnya berujung pada tindakan kriminal.
Kemudian, somnophilia berbeda dari necrophilia. Jika somnophilia tertarik pada orang yang tidur atau tidak sadar, necrophilia adalah ketertarikan seksual pada mayat.
Meski berbeda objek, keduanya memiliki kesamaan, sama-sama tidak melibatkan persetujuan, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan seksual.
Kesimpulan
Kasus Priguna Anugerah Pratama membuka mata publik tentang keberadaan kelainan seksual langka bernama somnophilia.
Meski terdengar asing, kondisi ini nyata dan bisa sangat berbahaya jika tak mendapat penanganan.
Ketika ketertarikan seksual menyasar mereka yang tak mampu memberikan persetujuan, di situlah batas antara fetish dan kejahatan harus ditarik dengan tegas.***