
SERAYUNEWS – Udara dingin menyergap sejak kendaraan memasuki Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Di lereng timur Gunung Slamet, pada ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, hamparan hijau hutan menyatu dengan aktivitas wisata. Inilah Desa Wisata Lembah Asri Serang, atau yang lebih dikenal dengan D’Las.
“Keunggulan kami wisata alam. Udara dingin, sejuk, hijau dan asri karena kami berada di hutan,” ujar Kepala Desa Serang, Sugito.
D’Las bukan sekadar tempat wisata alam. Di kawasan seluas sekitar 15 hektare itu, pengunjung dapat menikmati beragam wahana pendukung, mulai dari dino land, playground, sepeda air, kebun binatang mini, wisata kuda, outbound, hingga camping ground. Total ada sekitar 17 wahana yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Desa Serang.

Namun, perjalanan D’Las hingga menjadi destinasi unggulan tidaklah instan. Sugito mengenang, cikal bakal desa wisata ini bermula pada tahun 2010, saat Desa Serang ditetapkan sebagai desa wisata oleh Bupati Purbalingga. Kala itu, masyarakat membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), sebelum akhirnya mendirikan Bumdes untuk mengelola potensi wisata desa.
“Awalnya orang datang ke Serang itu untuk petik stroberi. Itu tujuan utama dulu,” kata dia.
Seiring waktu, fasilitas wisata terus dikembangkan. Outbound dan flying fox mulai dibangun, lalu disusul pembuatan rest area sebagai titik kumpul wisatawan. Pada tahun 2012, sarana prasarana semakin dilengkapi, mulai dari area parkir, toilet, gazebo, hingga wahana bermain anak. Setahun kemudian, tepatnya 2013, kawasan ini resmi diluncurkan dengan nama D’Las, Desa Wisata Lembah Asri Serang.

Sejak saat itu, pengembangan dilakukan berkelanjutan. “Setiap satu atau dua tahun selalu ada wahana baru,” ujarnya.
Di balik geliat wisata tersebut, tersimpan kisah perjuangan. Sebelum menjabat kepala desa sejak 2007, Sugito bekerja di perusahaan swasta. Ia pulang ke desa atas dorongan tokoh masyarakat. Saat itu, Desa Serang masuk dalam kategori zona merah desa miskin.
“Desa Serang tidak punya bengkok dan kas desa. Belum ada dana desa juga. Pemerintah desa harus hidup, jadi kami harus bekerja keras mencari potensi,” katanya.
Potensi itu akhirnya ditemukan pada wisata alam. Dari kondisi serba terbatas, Sugito bersama masyarakat berjuang “mati-matian” membangun desa. Bumdes dihidupkan sebagai sumber pendapatan asli desa, sekaligus alat pemberdayaan masyarakat.
Kini, hampir seluruh aktivitas wisata D’Las melibatkan warga lokal. Mulai dari pegawai, karyawan, hingga pedagang, mayoritas berasal dari Desa Serang. Tercatat sekitar 143 karyawan tetap dan tenaga harian lepas bekerja di D’Las. Di luar itu, ada sekitar 80 orang yang menggantungkan hidup dari aktivitas pariwisata.
Manfaat ekonomi D’Las terasa luas. Apalagi, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 350–400 ribu orang per tahun, mayoritas berasal dari Banyumas Raya, wilayah Pantura, hingga Pantai Selatan Jawa Tengah.

Dalam perjalanan perkembangannya, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto menjadi salah satu mitra penting bagi D’Las. Dukungan yang diberikan tidak hanya bersifat seremonial, tetapi menyentuh langsung kebutuhan pengelolaan wisata.
“Bank Indonesia Purwokerto sering support kami, baik CSR maupun digitalisasi,” ujar dia.
Salah satu bentuk dukungan nyata adalah penerapan pembayaran non-tunai menggunakan QRIS di kawasan wisata. Digitalisasi ini dinilai sangat membantu, karena lebih aman dan sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus menjawab permintaan wisatawan.
Selain itu, BI Purwokerto juga mendukung berbagai event di D’Las. Fasilitas penunjang turut diberikan, seperti glamping, kursi taman, sound system untuk kegiatan, hingga penambahan sarana pendukung lainnya.
“Support dari BI sangat membantu. Fasilitas yang diberikan itu sangat bagus untuk peningkatan kami di D’Las,” katanya.
Sugito menyadari, sebesar apa pun D’Las berkembang, kerja sama dengan berbagai pihak tetap dibutuhkan. Hubungan yang telah terjalin sekitar tiga tahun terakhir dengan Bank Indonesia Purwokerto diharapkan terus berlanjut.
“Kami berharap kerja sama ini berlanjut dan bisa membantu perkembangan D’Las ke depan,” ujarnya.

Ke depan, D’Las masih membutuhkan pendampingan, terutama dalam hal teknologi, pengelolaan keuangan, manajemen wisata, hingga penguatan kelembagaan. Bagi Sugito, kolaborasi adalah kunci agar D’Las tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga motor penggerak kesejahteraan desa.
Dari desa miskin di lereng Gunung Slamet, Desa Serang kini menjelma menjadi ruang harapan. Dan di balik riuh tawa wisatawan, ada cerita panjang tentang keberanian bermimpi, kerja keras, serta kolaborasi yang menghidupkan desa.