SERAYUNEWS— Bullying atau perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik, atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikis.
Apakah bullying di negeri sudah parah?Studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan kasus bullying te rtinggi di dunia.
Bahkan United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat pertama untuk soal kekerasan di sekolah.
Berdasarkan data Pusiknas Bareskrim Polri, tercatat 5.574 kasus kekerasan terhadap anak terjadi hingga April 2025, dan tren ini terus meningkat.
Terakhir, terjadi insiden meninggalnya seorang siswa SMA di Garut, Jawa Barat, berinisial P (16). Korban meninggal dunia pada Senin (14/7) di rumahnya dalam kondisi gantung diri pada hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas.
Penyebab utama P nekat menghabisi nyawanya sendiri, berdasarkan keterangan keluarga, adalah dugaan korban mengalami bullying di sekolah sejak Juni 2025.
Terkait kasus ini, Puan menekankan bahwa pendekatan penyelesaian kasus perundungan harus lebih dari sekadar respons insidental.
“Dibutuhkan pembenahan menyeluruh yang menyasar kelemahan struktural, termasuk minimnya kapasitas guru dalam menangani dinamika psikologis siswa, absennya konselor profesional di banyak sekolah, dan lemahnya kanal pelaporan yang ramah anak,” kata Ketua DPR-RI Puan Maharani dalam keterangan persnya, Senin (21/7/2025).
Puan Maharani menegaskan kembali pernyataan itu saat Hari Anak Nasional (HAN) pada tanggal 23 Juli 2025.
“Jutaan anak Indonesia hari ini masih hidup dalam ketidakpastian, mengalami kekerasan, mengalami stunting, tidak mendapat pendidikan berkualitas, dan minim perlindungan sosial. Persoalan ini harus segera dijawab dengan kebijakan yang nyata,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/7/2025).
Selanjutnya, Puan mendorong Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan Daerah, dan seluruh institusi pendidikan untuk segera memperkuat mekanisme pelaporan.
Pelaporan sebaiknya aman dan rahasia bagi siswa yang mengalami perundungan, termasuk integrasi platform digital anonim yang bisa pelajar akses.
“Kehadiran konselor psikologis profesional merupakan hal wajib yang harus ada di setiap sekolah menengah, bukan sekadar guru BK tanpa pelatihan psikologi mendalam,” ungkap Puan.
Puan juga mendorong agar pemerintah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS).
Satgas melibatkan unsur lintas sektor, meliputi psikolog, tokoh masyarakat, serta dinas perlindungan anak dan pendidikan. Tugasnya adalah melakukan inspeksi berkala dan pendampingan terhadap sekolah yang masuk zona rawan kekerasan.
“Kita tidak bisa menormalisasi bullying dengan dalih kenakalan remaja. Pembenahan terstruktur dalam mengatasi fenomena bullying di sekolah harus dilakukan segera demi masa depan generasi bangsa,” ujar Puan.***(RS)