SERAYUNEWS— Setiap 20 Februari, dunia merayakan Hari Keadilan Sosial Sedunia (World Day of Social Justice). Pendirinya adalah Organisasi Buruh Internasional (ILO) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan suatu masyarakat yang lebih adil dan merata tanpa adanya kesenjangan sosial.
Studi Centre for Economic Policy Research menunjukan bahwa di Filipina, 80% pejabat legislasi yang berasal dari dinasti mengalami peningkatan kekayaan sejak mereka menjabat. Selain itu, dinasti di Filipina cenderung mendominasi perpolitikan di daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, penelitian Sujarwoto (2015) dari Universitas Brawijaya menemukan bahwa penduduk kota atau kabupaten yang penguasanya adalah dinasti lebih miskin ketimbang penduduk yang tinggal di kota atau kabupaten yang penguasanya bukan.
Bahkan, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dinasti politik buruk untuk penanggulangan kemiskinan. Pasalnya, sumberdaya suatu daerah hanya segelintir elite kuasai dan gunakan untuk kepentingan dinasti mereka sendiri.
Dinasti politik merupakan kondisi ketika beberapa anggota dari keluarga yang sama berhasil menempati jabatan sebagai pejabat legislatif dan atau eksekutif melalui proses elektoral.
Ada dua bentuk, yaitu continuation dan expansion. Continuation adalah ketika jabatan yang sama diteruskan oleh anggota keluarga yang lainnya. Sementara itu, expansion adalah ketika beberapa anggota keluarga mengisi jabatan yang berbeda di waktu yang bersamaan.
Hasil riset Nagari Institute menunjukan hasil yang mengejutkan perkembangan dinasti politik di Indonesia. Pada 2005-2014, kandidat kepala daerah yang berasal dinasti hanya 59 orang. Jumlah tersebut meningkat pada Pilkada 2020 menjadi 124 orang.
Dari jumlah tersebut, terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dari 57 calon perempuan itu, sebanyak 29 orang adalah istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya. Data tersebut baru sebatas Pilkada, belum lagi dinasti politik di legislatif.
Motivasi dinasti politik yang utama adalah menumpuk kekayaan (stockpiling wealth). Kekayaan ini selanjutnya mereka gunakan untuk membiayai proses dan mekanisme agar suksesi kekuasaan berada di lingkaran dinasti .
Ciri berikutnya, yaitu kecenderungannya saat berkuasa membuat proyek-proyek infrastruktur, demikian tulis Arthur Braganca, dalam artikelnya Political Dynasties and the Quality of Government (2015). Menurutnya, proyek-proyek tersebut justru tidak membantu perbaikan pertumbuhan ekonomi dan layanan publik.
Kemungkinan, ini terjadi karena proyek-proyek tersebutlah yang lebih mudah dikorupsi dan terkesan membantu kepentingan publik. Terjawab sudah mengapa bentuk dinasti ini memperparah kesenjangan ekonomi.*** (O Gozali)