SERAYUNEWS – Januari 2017 Barack Obama menulis pesan yang menyentuh kepada Donald Trump pada saat akan meninggalkan Gedung Putih.
Dalam catatannya, Obama mengatakan “Kita hanyalah penguasa sementara dari tempat ini.
Terlepas dari dorongan dan tarikan politik, kitalah yang bertanggung jawab meninggalkan instrumen demokrasi sekuat saat kita menemukannya.”
Jiwa negarawan yang tertanam pada Obama mengajak senua untuk merawat dan tidak merusak demokrasi.
Pesan tersebut seolah cocok dengan kondisi Indonesia. Sehingga Koran New York Times menyoroti peluang dimulainya dinasti Presiden Indonesia Joko Widodo dalam artikelnya pada Minggu (7/1/2024).
Koran tersebut memasang judul ‘For Indonesia’s President, a Term Is Ending, but a Dynasty Is Beginning.’
Dijelaskan di media itu bahwa Gibran bisa maju menjadi Cawapres dari Prabowo Subianto setelah Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya, Anwar Usman, mengubah batas usia minimal seseorang untuk menjadi capres atau cawapres.
Sebenarnya dinasti politik adalah konsekuensi dari praktik demokrasi itu sendiri. Sebab, dalam prinsip demokrasi ada prinsip persamaan hak, sehingga semua warga negara, entah itu anak presiden maupun anak dari rakyat kelas menengah ke bawah, memiliki kesempatan yang sama.
Di AS kita menemukan dinasti Kennedy, Bush, dan Clinton. Di Kanada, ada dinasti Trudeau. India, ada dinasti Jawaharlal Nehru.
Di Indonesia, Soeharto memberi contoh terbaik dinasti politik bekerja. Sampai akhirnya sebuah jurnal yang berjudul “The Irony of Indonesia’s democracy: The Rise of Dynastic Politics in the Post-Suharto Era” memperlihatkan temuan empiris bahwa jumlah dinasti politik di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat antara 2010 dan 2018, atau hanya dalam satu siklus pemilu.
“Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Confusius.
Dan, Presiden adalah pusat keteladanan.*** (O Gozali)