Purwokerto, Serayunews.com- Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) telah disahkan DPR pada Senin (5/10) kemarin. Disahkannya RUU tersebut pun menuai reaksi masyarakat yang tidak setuju. Aksi demonstrasi pun dilakukan oleh mahasiswa secara serentak dibeberapa daerah di Indonesia.
Akademisi sekaligus Kepala Program Studi PPKN UMP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Elly Hasan Sadeli mengatakan pro dan kontra terkait RUU tersebut terus menjadi perhatian masyarakat. Menurut pemerintah, RUU ini dianggap penting untuk mempermudah investasi dan pembangunan. Namun di sisi lain, masyarakat menilai bahwa RUU ini sangat merugikan, khususnya bagi tenaga kerja
Menurutnya, dalam UU yang didalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Pada dasarnya UU ini merupakan upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu juga peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, serta investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Namun RUU tersebut, lanjutnya, sudah menimbulkan kontroversi sejak awal pembahasan. Karena dianggap akan merugikan para pekerja atau buruh dan hanya mementingkan pemberi kerja atau investor.
“Hak-hak tenaga kerja yang diatur dalam UU ini dinilai sangat dikesampingkan. Secara spesifik, beberapa poin yang kontroversial dalam RUU tersebut antara lain; waktu jam kerja, upah minimum, rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), mekanisme PHK, serta pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga jaminan sosial menjadi sorotan utama oleh para tenaga kerja,” katanya.
Bahkan masyarakat menilai jika DPR dan pemerintah menggunakan strategi langkah senyap dalam memuluskan dan mewujudkan Omnibus Law RUU Ciptaker menjadi UU. Langkah pengesahan RUU ini dianggap bertentangan dengan semangat dan sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.
“Jika proses pengesahan UU ini tidak menyerap aspirasi masyarakat, maka secara tidak langsung, produk UU ini menjadi cacat prosedural,” ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah dan DPR perlu menyadari bahwa pondasi demokrasi harus didasarkan pada cita-cita perjuangan yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial.
“Oleh karena itu, jangan memaknai demokrasi hanya dalam perspektif politik, di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” kata dia.
Elly mengatakan, sudah seyogyanya pemerintah dan DPR untuk senantiasa tidak mengabaikan cita-cita dan harapan dari sistem demokrasi. Termasuk dalam membuat atau mengesahkan UU. Supaya memberikan ruang bagi masyarakat untuk senantiasa mengawal dan mengkritisi seluruh kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan bersama.
“Sehingga semangat membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat segera terealisasi,” katanya. (alfi)