SERAYUNEWS- Fenomena mengejutkan mencuat di ruang publik dan media sosial.
Sejumlah wanita yang baru saja dilantik sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), menggugat cerai suami mereka.
Ironisnya, para suami ini sebelumnya setia mendampingi dan mendukung perjuangan sang istri dari nol baik secara moral, spiritual, hingga materiil. Fenomena ini memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat dan akademisi.
Salah satu yang angkat bicara adalah Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, akademisi dari UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Ia menyoroti fenomena ini dari perspektif fiqih munakahat, etika ASN, serta struktur sosial keluarga Indonesia yang tengah mengalami guncangan nilai.
Dalam keterangannya, dia menyebutkan, pelantikan sebagai ASN atau PPPK padahal seharusnya menjadi momen penuh syukur, bukan awal dari perceraian.
Banyak kisah di balik layar: suami yang rela mengantar istri ujian di tengah panas, merelakan pengeluaran rumah tangga demi biaya les atau pelatihan, hingga doa-doa yang dipanjatkan diam-diam di malam hari.
Namun, keberhasilan yang datang tak jarang membuat seseorang lupa akan perjuangan kolektif dalam rumah tangga. Rezeki yang datang melalui jalur pernikahan pun seolah dianggap hasil pribadi. Inilah yang menjadi keprihatinan moral dan sosial.
Dalam Islam, pernikahan adalah “mitsaqan ghalizha”, yakni ikatan kokoh yang bukan sekadar kontrak antara dua individu, melainkan amanah yang sarat nilai ibadah dan tanggung jawab.
Fiqih pernikahan mengatur bahwa talak (perceraian) dibolehkan, tetapi menjadi perkara halal yang paling dibenci Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud)
Cerai hanya dibenarkan bila ada alasan syar’i, seperti kekerasan, tidak ada nafkah lahir dan batin, atau hilangnya rasa aman.
Jika perceraian terjadi hanya karena perbedaan status sosial pasca pelantikan sebagai ASN, maka ini bukan hanya melanggar norma agama, tetapi juga mencederai kehormatan pernikahan itu sendiri.
Sebagai abdi negara, ASN memiliki tanggung jawab yang jauh lebih luas dari sekadar mengerjakan tugas kantor. UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menekankan nilai-nilai dasar: integritas, akuntabilitas, komitmen terhadap pelayanan publik, dan keteladanan.
Seorang ASN, khususnya perempuan, harus mampu menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sosial dan keluarga.
Ketika jabatan ASN dijadikan alasan untuk melepas ikatan rumah tangga yang telah lama dibangun, maka ini menunjukkan gagalnya internalisasi nilai-nilai ASN.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menawarkan solusi yang dapat dijadikan refleksi bersama:
1. Pendidikan Pranikah yang Komprehensif
Bimbingan pranikah semestinya tidak hanya memenuhi syarat administratif, tapi juga mengajarkan:
⦁ Manajemen konflik rumah tangga
⦁ Keseimbangan peran dalam keluarga modern
⦁ Fiqih munakahat dan etika suami-istri
⦁ Cara membangun karier tanpa merusak harmoni keluarga
2. Penguatan Nilai ASN dalam Konteks Keluarga
Pelatihan dasar ASN seharusnya tidak hanya fokus pada etika birokrasi, tetapi juga menanamkan nilai tanggung jawab sosial dan rumah tangga. ASN harus sadar bahwa keberhasilan adalah tanggung jawab bersama.
3. Pemberdayaan Ekonomi Suami
Ketimpangan ekonomi seringkali menjadi sumber konflik. Maka, perlu ada program pemberdayaan ekonomi bagi suami ASN agar tercipta keseimbangan finansial dan mental dalam rumah tangga.
4. Pendampingan Keluarga ASN
Pemerintah daerah dan instansi keagamaan dapat berperan aktif dalam memberikan konseling keluarga, mediasi, dan edukasi agar potensi perceraian bisa diminimalkan sejak dini.
Kesuksesan karier seharusnya tidak membunuh cinta dan komitmen. Justru saat karier menanjak, etika dan kesetiaan diuji. Rezeki yang datang bukan sekadar upah dari instansi, tapi berkah yang lahir dari perjuangan bersama suami, istri, dan keluarga.
Dalam rumah tangga yang diberkahi, keberhasilan satu pihak adalah kemenangan bersama. Jangan jadikan status sebagai ASN sebagai alasan untuk meninggalkan seseorang yang setia di masa sulit.
Justru di sanalah amanah sejati diuji mampukah kita mengemban jabatan tanpa mengorbankan ikatan?