Banjarnegara, serayunews.com
Tudingan yang disampaikan bupati dalam video berdurasi 3 menit 8 detik ini bukan tanpa alasan, termasuk adanya perbedaan hasil pemeriksaan PCR antara rumah sakit dengan laboratorium.
“Nggak tahu lho kalau ini dikondisikan, nggak ngerti kalau punya kepentingan dikondisikan. Karena sekarang lumayan sih, kalau karantina di rumah sakit kan lumayan klaimnya. Aku juga sudah mengerti,” ujar bupati dalam video tersebut.
Tidak hanya itu, orang nomor satu di Banjarnegara ini juga sudah bertemu dengan seorang warga yang menjadi sales untuk mencari orang sakit dan dibawa ke rumah sakit tertentu. Sales tersebut juga mengaku mendapatkan imbalan untuk setiap pasien yang dibawanya.
“Kemarin saya sudah ketemu sama salesnya. Ada salesnya namanya Bejo, mencari orang sakit untuk dipondokin di rumah sakit. Kalau dipondokin dengan mobil sendiri Rp 200 ribu tapi kalau diambil pakai ambulans rumah sakit honornya Rp 100 ribu,” kata dia.
Dengan kondisi ini, bupati mengajak pihak terkait untuk tidak lagi melanjutkan praktik seperti ini. Dia juga mengajak semua pihak untuk benar-benar menjalankan amanah dengan baik serta menjalankan Pancasila sebagai dasar negara.
“Udahlah, nggak usah cari yang macam-macam. Kita bergotong-royong sama-sama melayani masyarakat dengan baik. Insyaallah kalau kita betul-betul ikhlas dan menjalankan Pancasila, Indonesia kuat,” ujarnya.
Menurutnya, adanya praktik ‘Jualan’ Covid 19 yang dilakukan pihak rumah sakit ini karena tingginya klaim anggaran untuk pasien Corona yang angkanya mencapai Rp 6,25 juta hingga Rp 10 juta per hari.
“Dengan klaim ini wajar jika banyak pihak rumah sakit yang berebut pasien Corona, saya tahu angak tersebut ya dari dinas yang menyebutkan biaya perawatan segitu dengan batas waktu perawatan hingga 14 hari,” ujarnya.
Tingginya anggaran klaim inilah yang dimungkinkan menjadi penyebab adanya pihak rumah sakit yang melakukan hal tersebut. Bahkan tidak sedikit rumah sakit yang akhirnya jemput bola mencari pasien COVID-19, termasuk yang akhirnya menambah ruangan karantina bagi pasien COVID-19.
“Di kampung kami ini kota kecil, kalau satu hari Rp 6.250.000 itu minimal kan banyak sekali yang tertarik. Jadi yang dicari rata-rata pasien Covid 19 semua, dan kalau diswab, dari 10 orang yang positif itu 7 (orang) atau 6 (orang). Terus saat sekarang ini jadi melonjak. Rumah sakit penuh, tempat karantina penuh. Ini pada berlomba membuat karantina lagi,” kata dia.
Adanya kasus ini diharapkan mampi membuka mata semua pihak, termasuk pemerintah pusat untuk turun melakukan screening. Hal ini mendasar pada adanya laporan hasil tes PCR yang berbeda antara rumah sakit satu dengan salah satu laboratorium.
“Karena saya sendiri sudah banyak laporan, ada seseorang dia di tes swab di rumah sakit A positif, di laboratorium yang betul-betul profesional negatif. Jamnya sama, hanya selisih 10 menit, pada waktu melakukan swab, yang satu negatif yang satu positif. Kalau bisa pemerintah pusat menurunkan Litbang yang betul-betul independen,” ujarnya.