Ketua Umum Keluarga Alumni Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (KAFH Unsoed) Dr. Ma’ruf Cahyono SH., MH., hadir di SMK Muhammadiyah Sampang, Cilacap pada 13 Februari 2022. Ma’ruf disambut hangat oleh Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sarasehan hukum dan wawasan kebangsaan yang diadakan PCM Kecamatan Sampang ini dihadiri juga oleh Sekjen KAFH, Imarotun Noor Hayati.
Sampang, Serayunews.com
Hadir dari pihak PCM Sampang sendiri adalah Ketua PCM Sampang, H. Tohir, S.Ag; Sekretaris PCM Sampang Ir. H.M Sutrisno; Wakil Sekretaris PCM Sampang H. Ariadi Sulaiman ST; Ketua Pengurus Cabang Aisyiyah (PCA) Sampang Hj. Siti Mudrikah; Sekretaris PCA Sampang Nurul Hikmah SPd; Wakil Ketua Pengurus Nasyiatul Aisyiyah (PCNA) Sampang Siti Makmuroh Noorhayati, serta jajaran dan penggiat Muhammadiyah Sampang lainnya.
Kehadiran pria yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MPR ke Sampang pada hari itu untuk memenuhi undangan menjadi narasumber sarasehan ‘Mewujudkan Kesadaran Hukum dan Wawasan Kebangsaan’. Sarasehan itu sangat istimewa, selain menghadirkan Ma’ruf Cahyono, juga mendatangkan Dr. Koenarti, SH.MH yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Unsoed. Acara dimoderatori oleh Saleh Darmawan, SH MH. Ia adalah anggota Bawaslu Kabupaten Banyumas.
Dikatakan kehadiran dirinya dalam sarasehan itu untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah pengabdian kepada masyarakat.
“Nah, KAFH Unsoed hadir di Sampang untuk itu,” ujarnya.
Dia mengatakan, KAFH Unsoed disebut akan terus mendarmabaktikan aktivitasnya untuk masyarakat guna memberikan penyadaran hukum, serta wawasan kebangsaan.
Dalam sarasehan, pria yang masuk dalam 100 tokoh yang inspiratif di Jawa Tengah iu mengatakan hikmat kebjaksanaan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang di dalamnya dijiwai oleh nilai-religius, humanis, dan dan nasionalis.
“Demokrasi kita bukan demokrasi menang-menang, mayoritas menekan minoritas, bukan pula demokrasi voting,” ujarnya.
Sebagai sebuah prisip demokrasi yang dijiwai oleh “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan” maka nilai-nilai transedental yang menjiwainya terwujud dalam sambung rasa, tukar pikiran, curah pendapat untuk menemukan titik-titik perbedaan.
“Dalam bermusyawarah kita sadar diri bahwa kita adalah mahluk Tuhan sekaligus makhluk sosial, yang terus ingin merekatkan ikatan sosial untuk terus bersatu,” tuturnya.
Proses musyawarah ini sudah terjadi di MPR sebagai Lembaga permusyawaratan. Dia mengatakan, keputuasan-keputusan yang ada di MPR diambil dengan cara musyawarah.
Menurut pria asal Wangon, Banyumas itu, bila muswayarah dijalankan maka keputusan yang diambil dapat diterima oleh semua pihak, sehingga tidak ada perbedaan tajam yang memunculkan perdapat tandingan.
“Dalam pemilihan Ketua OSIS misalnya, tidak akan muncul OSIS tandingan jika kesepakatan bulat atas dasar musyawarah,” ujarnya di depan peserta yang juga ada dari kalangan pelajar.
Untuk itulah nilai-nilai musyawarah diharap oleh Ma’ruf Cahyono untuk terus disemai. Bahkan, katanya. harus disemai mulai dari lingkungan terkecil di rumah atau keluarga. Bila nilai musyawarah ini terus berkembang di masyarakat, maka semua akan mengafirmasi bahwa musyawarah merupakan pondasi demokrasi modern yang yang cocok dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kekinian.
“Kita berfondasi Pancasila maka demokrasi yang mengedepankan musyawarah inilah yang kita pilih yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Bila demokrasi tidak berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, dampaknya adalah sesuatu hal yang tentu saja tidak kita inginkan,” tambahnya.
Dosen magister hukum di berbagai perguruan tinggi itu mengakui bahwa dalam proses pembuatan aturan atau hukum memang ada dimensi politiknya. Meski demikian ditegaskan proses yang ada harus memenuhi tata dan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila ada produk hukum, undang-undang misalnya dijudicial review di Mahkamah Konstitusi, menurut Ma’ruf Cahyono hal demikian bisa terjadi karena ada politik hukum dalam pembentukan hukum yang bergeser dari tata peraturan perundangudangan yang berlaku.
“Ada yang bergeser dari aturan di atasnya,” ungkapnya.
Hadirnya Mahkamah Konstitusi menurut pria yang juga menjadi Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman itu untuk memberi ruang konstitusional kepada masyarakat.
“Agar masyarakat tidak main hakim sendiri,” ujarnya.
Dia mengatakan, bila masyarakat main hakim sendiri akan terjadi konflik kepentingan dan muncul kekerasan. Dikatakan, hukum harus memberi manfaat, kepastian dan keadilan dan tentu saja membuat masyarakat bahagia.
“Kalau hukum tidak membuat bahagia masyarakat berarti eksistensi hukum tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila,” paparnya.
Tidak akan pernah ada kebijakan hukum yang memiliki kualifikasi yang bagus kalau tidak dijiwai oleh pondasi moral Pancasila. Oleh karena itu setiap substansi hukum harus memiliki landasan ideal nilai-nilai Pancasila.
Lebih lanjut dikatakan, hukum yang berwawasan kebangsaan adalah hukum yang dijiwai Pancasila.
“Hukum akan berjalan baik dan adil bila sila ke empat diimplementaskan, yang sudah dijiwai oleh sila kesatu, kedua dan ketiga,” tambahnya.
Pria yang saat ini menambah gelar Doktor di Program Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia itu mengatakan sampai kapan pun keberadaan bangsa indonesia, harus tetap berada dalam landasan dan cita-cita Pancasila.
“Oleh karena itu jangan lelah untuk kembali ke rel idealita yang namanya Pancasila,” tegasnya.
Dikatakan oleh Ma’ruf Cahyono bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, bahasa, dan budaya. Perbedaan ini merupakan potensi besar bangsa Indonesia. Keragaman harus dijaga, dirawat, dan dipelihara. Diibaratkan oleh Ma’ruf Cahyono dari segala macam perbedaan itu bila diorkestrasi dengan baik akan menimbulkan harmoni.
“Kalau dirigennya baik maka akan menciptakan lagu yang bagus, begitu sebaliknya,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ma’ruf Cahyono mengajak masyarakat menjauhi money politic. Sikap yang demikian selain tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila juga mengingkari fitrah manusia sebagai mahluk Tuhan yang memiliki ketinggian hakat dan martabat.
“Kita tentu tidak ingin bahwa representasi suara kita dalam demokrasi yang ditinggikan derajatnya sebagai suara Tuhan, mau ditukar dengan nilai rupiah seharga jeruk sunkis,” ucapnya.