SERAYUNEWS – Saat ini, sedang berlangsung sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional atau biasa disebut UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada yang menarik dalam sidang keenam pada hari ini, Selasa (23/7/2024). Wakil Ketua MK Saldi Isra, mengatakan bahwa mulai terlihat negara mau melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan bagi setiap warga negara.
Hal itu Hakim Saldi Isra sampaikan usai mendengarkan keterangan ahli dan saksi yang pemerintah hadirkan di ruang Sidang Pleno MK.
“Ada sekarang UKT sampai Rp50 juta per semester. Kita bisa bayangkan seberapa mungkin orang miskin dapat mencapai itu. Uang pengembangan institusi sampai mencapai Rp300 – Rp400 juta untuk perguruan tinggi. Jadi, permohonan ini untuk pendidikan dasar, tapi ini menjadi cara kita merefleksi ada yang salahkah dengan cara kita mengelola pendidikan ini?” tanya Saldi, serayunews.com mengutip dari mkri.id.
Saldi menambahkan Majelis Hakim membutuhkan proyeksi angka-angka riil jika permohonan pemohon untuk membebaskan biaya pendidikan dasar swasta.
Pastinya, angka 20 persen dari anggaran pendidikan yang ada dalam konstitusi tidak dapat memenuhi hal tersebut.
“Kalau semakin hari orang tua semakin cenderung mendorong ke swasta, apakah anggaran sebesar itu cukup untuk pendidikan dasar sembilan tahun? Dari tahun ke tahun ada proyeksi sekolah swasta yang tidak perlu digratiskan. Karena ada orangtua yang mau membayar dengan jumlah besar. Saya mungkin perlu diberikan angka-angka ini,” sebut Saldi.
Oleh karena itu, Hakim Saldi meminta agar Nisa Felicia yang merupakan Executive Director Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan sebagai ahli pemerintah memberikan gambaran mengenai anggaran pendidikan.
Ia meminta pendapat tentang kemungkinan pendidikan dasar gratis, baik untuk negeri maupun swasta, serta menguraikan angka-angka pasti.
Sebelumnya, dalam persidangan tersebut, Nisa Felicia yang merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan hadir memberi keterangan sebagai ahli pemerintah.
Nisa menuturkan bahwa perlu adanya kebijakan asimetris dan melibatkan penyelenggara pendidikan swasta dalam mengatasi permasalahan daya tampung di Indonesia dengan mempertimbangkan kategori sifat akses pendidikan di setiap daerah.
Menurutnya, pembebasan pemungutan biaya Pendidikan swasta bukan satu-satunya opsi kebijakan, tetapi ada pilihan lain yang tepat sasaran dan efisien.
Lantas, Nisa menjelaskan rentang kualitas sekolah swasta itu sangat lebar dan banyak kualitas swasta yang di bawah kualitas pendidikan negeri.
Apabila pemerintah ingin melibatkan swasta dalam pemenuhan hak anak terhadap pendidikan dasar, kualitas pun harus mendapat perhatian.
“Harus dipilih kualitas swasta yang seperti apa yang dilibatkan. Hal ini tidak mudah, Yang Mulia. Pengalaman kami di DKI Jakarta, kami menggunakan indeks untuk menentukan sekolah swasta mana yang dapat dilibatkan dalam PPDB bersama disebutnya karena PPDB ini juga untuk swasta dengan mempertimbangkan hasil belajar, komposisi guru, akreditasi,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan Kemdikbudristek Vivi Andriani selaku saksi dari Pemerintah, menyebut Kemdikbudristek hanya mengelola anggaran pendidikan sebesar 15 persen
Selanjutnya, itu setara dengan Rp98,9 triliun dari anggaran pendidikan tahun 2024 yang berjumlah sebesar Rp665 triliun.
Vivi menegaskan, pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga pemenuhan pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat UUD 1945. Ia menyebut anggaran pendidikan tahun 2024 sebesar RP665,02 triliun.
“Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran Pendidikan di luar pengajuan anggaran Pendidikan di luar pengajuan Kemendikbudristek,” paparnya.
***