SERAYUNEWS – Kebijakan penarikan royalti lagu dari tempat usaha seperti kafe, restoran, dan hotel dinilai sebagai langkah positif untuk meningkatkan kesejahteraan musisi dan pencipta lagu.
Namun, pelaku musik sekaligus pengelola media heartcorner.net asal Purwokerto, Kemal Fuad, mengingatkan agar kebijakan itu dibarengi penyediaan infrastruktur yang memadai.
“Visinya bagus, negara hadir untuk membantu musisi dan pencipta lagu. Tapi selain menarik royalti, pemerintah juga harus menyediakan perangkatnya. Jangan hanya menarik keuntungan sosial tanpa memberi infrastruktur,” ujar Kemal.
Kemal menjelaskan, sebagian besar kafe dan restoran saat ini menggunakan pemutar lagu dari pihak swasta. Kondisi itu membuat pemerintah sulit melacak lagu yang diputar, sehingga penghitungan royalti menjadi tidak akurat.
“Kalau pemerintah punya platform sendiri, ada database musisi, dan jelas lagu apa yang diputar di mana, itu akan lebih tepat guna,” katanya.
Ia menyarankan penarikan royalti sebaiknya ditunda sampai perangkat tersebut tersedia.
Meski begitu, Kemal mengakui tarif royalti yang berlaku saat ini tidak terlalu membebani pelaku usaha mikro.
“Hitungannya itu per kursi, sekitar Rp60 ribu per tahun. Kalau ada 50 kursi di satu kafe, paling hanya Rp3–5 juta setahun. Itu murah untuk bentuk apresiasi ke musisi dan pencipta lagu,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi royalti. Tanpa hal itu, kepercayaan musisi terhadap pemerintah akan sulit terbangun.
Kemal mengutip pendapat Iman Fatah, pendiri grup musik independen asal Jakarta, Line, yang menyebut musik sebagai bagian dari peradaban, ekspresi seni, dan wajah kebudayaan.
“Musik itu harusnya tinggal dinikmati, jangan dibuat rumit. Kalau sampai menyulitkan, lebih baik ditinggalkan saja,” kata Kemal mengulang pandangan Iman.
Sebagai pelaku musik, Kemal bahkan mempersilakan lagunya dan karya musisi lain di pemutar musik digital untuk diputar di mana saja tanpa batasan.
“Apalagi di kafe, monggo,” tutupnya.