SERAYUNEWS- Pasti sejumlah orang pernah tidur di masjid. Selain sebagai tempat ibadah dalam agama Islam, masjid juga dapat menjadi tempat yang ideal untuk beristirahat dan merenung.
Biasanya seseorang memilih untuk tidur di masjid pada waktu malam ketika masjid sepi dan hening. Suasana malam di masjid memberikan kesempatan untuk merenung dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah.
Lalu, apa hukum tidur di masjid secara fikih? Apakah dalam ajaran agama Islam boleh? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini.
I’tikaf atau iktikaf dalam ejaan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan momen berdiam beberapa waktu di dalam masjid, menjalankan ibadah, dan menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Iktikaf memiliki kekhususan tempat dan aktivitas yaitu masjid dengan aktivitas mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, salat sunah, bersholawat, bertaubat, beristigfar, dan lainnya.
Melansir dalam buku “Tuntunan Ibadah Ramadan dan Hari Raya” karya R. Syamsul dan M. Nielda, Rasulullah SAW memiliki kebiasaan untuk melaksanakan iktikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Hal ini sebagaimana dalam hadis dari Aisyah RA.
أَنَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانِ. حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Artinya, “Bahwasanya Nabi SAW beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan sampai beliau dipanggil Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau (meneruskan) beri’tikaf setelah beliau wafat.” (HR Muslim).
Melansir dari konsultasisyariah.com, pertama, orang yang sedang beriktikaf boleh tidur di masjid dengan sepakat ulama.
Dalam fikih iktikaf dinyatakan,
يباح للمعتكف أن ينام في المسجد باتفاق الفقهاء
Dibolehkan bagi orang yang itikaf untuk tidur di masjid dengan sepakat ulama. (Fiqh al-I’tikaf, Dr. Khalid al-Musyaiqih, hlm. 88).
Orang yang melakukan iktikaf, syariatnya untuk menetap di masjid dan tidak boleh keluar masjid, kecuali jika ada hajat yang tidak memungkinkan di masjid.
’Aisyah RA menceritakan ini.
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itikaf sama sekali tidak masuk rumah, kecuali karena menunaikan hajat manusia.” (HR. Muslim 297).
Hukum tidur bagi selain orang iktikaf, berdasarkan pendapat beberapa ulama, boleh tidur di masjid bagi orang yang butuh untuk istirahat atau orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal.
1. Hadis Ibnu Umar RA
أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لاَ أَهْلَ لَهُ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika masih muda, bujangan, dan belum berkeluarga, beliau tidur di masjid Nabawi.” (HR. Bukhari 440)
2. Kisah Ahlus Sufah
Ahlus sufah adalah para sahabat yang datang dari luar madinah, dan mereka tidak memiliki tempat tinggal di Madinah. Oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuatkan atap di salah satu sudut masjid untuk tempat tinggal mereka. Jumlah mereka bisa mencapai 70 orang. Kadang kurang karena balik ke daerahnya, atau tambah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, menceritakan,
لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَلَيْهِ رِدَاءٌ
“Aku bertemu dengan 70 ashabus sufah. Tidak ada seorangpun yang memakai kain penutup badan bagian atas.” (HR. Bukhari 442)
3. Wanita hitam yang tinggal di masjid,
’Aisyah menceritakan bahwa ada seorang budak wanita hitam milik salah satu suku arab lalu mereka merdekakan. Ketika wanita ini mendatangi Nabi SAW, dia masuk islam. ’Aisyah menceritakan ini.
فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ – أَوْ حِفْشٌ
“Wanita ini memiliki kemah kecil dari dedaunan dan bulu yang berada di dalam masjid.” (HR. Bukhari 439).
Namun jika pihak takmir menetapkan aturan larangan tidur di masjid, jemaah berkewajiban menghormati aturan ini, sehingga mereka tidak boleh tidur di masjid.
Takmir membuat aturan ini, tidak lain adalah untuk kemaslahatan dan ketertiban masjid. Demikian penjelasannya. Semoga bermanfaat! *** (Putri Silvia Andrini)