SERAYUNEWS-Cerita pilu datang dari seorang pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kecamatan Limpung Kabupaten Batang Jawa Tengah yakni Anti Setiawati. Ibu berusia 32 tahun ini menceritakan pengalaman pilunya di Singapura sebagai PMI. Anti yang memiliki satu putra ini menceritakan pengalaman pilunya di kantor Serayunews Purwokerto, selepas dia mengurus berkas keimigrasian di Cilacap.
“Saya mengalami kekerasan dan gaji tak dibayar selama kerja delapan tahun,” ujarnya mengawali cerita, Kamis (16/10/2025).
Anti menceritakan dia kerja sebagai PMI di Singapura sejak 2016 sampai 2024. Selama kerja di sebuah rumah majikannya di Singapura, dia tak bisa keluar rumah. “Jika majikan pergi, majikan menggembok dari luar dan saya ada di dalam rumah,” ceritanya.
Kekerasan mulai dia alami sejak 2018 sampai 2024. Dia sering dipukul di bagian kepala dan badan dengan bambu, tongkat, rotan, besi. Pernah juga giginya dipukul pakai palu sebanyak 10 kali. “Gigi rusak,” katanya sembari memperlihatkan giginya yang sudah rusak.
Satu ketika lidah Anti pernah ditarik dengan pencapit makanan hingga lidahnya robek. Dia pun menceritakan dengan kondisi lidah robek, dia melakukan pengobatan sendiri. Pengobatannya adalah dengan memasukkan air panas. “Saya pikirannya agar darah beku, itu saja,” katanya.
Dia tak paham mengapa majikannya melakukan kekerasan padanya. Yang dia ingat saat itu, pada pukul 2 malam dia dibangunkan dan mulai dipukul. Sejak saat itu, kekerasan bertubi-tubi dia rasakan.
Selama kerja, dia juga terus dipantau kamera pemantau atau CCTV di rumah itu yang berjumlah 14. Sejak kali pertama bekerja, HP-nya disita majikan. Selama delapan tahun kerja, dia benar-benar terkungkung di rumah.
Satu momen tragis juga dia alami karena digigit anjing sang majikan. Dia menduga si anjing juga stress karena dikurung di rumah. Saat stress itulah, salah satu dari tiga anjing milik majikan menggigit tangannya. Setelah kejadian itu, Anti dibawa ke dokter oleh anak majikannya.
“Ini bisa dilihat,” katanya sembari memperlihatkan bekas gigitan anjing di tangan kanannya.
Tak hanya kekerasan, Anti tidak pernah mendapatkan gaji selama delapan tahun kerja di majikannya di Singapura tersebut.
Tak tahan dengan siksaan seperti itu, Anti mendapatkan kesempatan untuk kabur. Salah satu majikannya yang tua di sebuah pagi akan keluar rumah. Momen itu terjadi pada April 2024. Sebelum keluar rumah, Anti berinisiatif memasukkan pengganjal di lubang gembok.
Dengan begitu, ketika gembok ditancapkan seperti sudah tergembok, padahal belum tergembok sempurna. Ketika si majikan sudah pergi, kondisi gembok tak sempurna bisa dengan mudah dibuka oleh Anti.
Namun, sebelum kabur dia memutuskan mengambil kartu memori dari empat CCTV. Setelah bisa keluar dari rumah, juga dengan bantuan tetangga, Anti mendatangi kantor polisi untuk melaporkan kekerasan yang dia alami.
Berbekal kartu memori CCTV, Anti melaporkan majikannya yang total ada tiga orang. Yakni satu wanita dan dua lelaki. Berada di kantor polisi dua hari untuk pengusutan kasus, kemudian Anti diserahkan ke KBRI Singapura.
Muholis Andriyatni, bagian perlindungan warga negara Indonesia KBRI Singapura dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa selama setahunan Anti berada di KBRI. Dia dapat pemberdayaan dan segala kebutuhan di KBRI.
Sembari di KBRI, proses hukum pada Anti pun dilakukan. “Jadi ada dua hal yakni kasus kekerasan dan kerja tanpa gaji,” ujar Muholis.
Dia mengatakan, untuk gaji akhirnya dilunasi majikan. Kemudian, tiga majikannya diproses hukum. “Saat ini prosesnya, berkas ada di jaksa,” ujarnya.
Dia mengatakan, Anti mendapatkan izin untuk pulang sebentar ke Indonesia. Kemudian Anti akan kembali ke Singapura karena keberadaannya dibutuhkan sebagai saksi korban dalam kasus kekerasan tersebut.