Purbalingga, serayunews.com
Kepala Sekolah SMPN 3 Mrebet Sapti Winarni, menyampaikan kendala pasti ada. Pola atau sistem baru tentunya belum familiar bagi para guru. Tidak hanya soal sarana dan prasarana saja. Tetapi mengenai sikap dan kesadaran siswa dan keluarga juga.
“Hampir setiap hari ada yang curhat,” ujarnya, Jumat (01/10/2021).
Dia menceritakan, bahwa pihak guru merancang model pembelajaran yang semenarik mungkin. Namun, pada kenyataanya menarik bagi guru belum tentu oleh siswanya. Selain itu, kendala sarana tetap saja dialami. Karena tidak semua siswa memiliki smartphone.
“Kalau yang tidak memiliki HP, siswa difasilitasi untuk datang ke sekolah, memanfaatkan ruangan TIK, tapi ya ada yang datang ada yang tidak,” katanya.
Padahal, lanjut Sapti, setiap siswa memiliki hak yang sama. Namun demikian, kondisi keluarga, dan karakter anak beda-beda. Sedangkan dari pihak sekolah tidak bisa benar-benar mengawasi, seperti halnya ketika tatap muka.
“Anak-anak tidak mengerjakan tugas. Ada juga yang biasanya nilai tidak terlalu bagus, ini bagus-bagus terus, karena dikerjakan orangtua atau kakaknya. Ada yang tidak punya HP sekolah memfasilitasi, anak bisa datang ke sekolah jadi bisa mengikuti di ruang lap TIK. Tapi ya ada yg mau ada yang tidak,” katanya
Secara keseluruhan, menurutnya pembelajaran secara daring tetap tidak maksimal. Karena belum efektif di terapkan di seluruh wilayah. Karena penyampaian materi maupun hasilnya belum bisa maksimal.
“Belum efektif diterapkan, baik siswa maupun guru kepenginnya tatap muka,” ujarnya.
Secara usia dan pemahaman, siswa jenjang SMP relatif lebih menguasai. Sementara untuk usia jenjang SD kondisi bisa lebih merepotkan lagi. Seperti disampaikan oleh Sobariah, guru SD di wilayah Bobotsari.
“Sukanya karena bisa dilakukan dari mana saja, tapi ya lebih banyak dukanya,” kata Sobar.
Diceritakan, untuk wilayah Bobotsari, khususnya Dusun Dagan, sinyal internet tidak terlalu bagus. Sehingga tidak semua siswa bisa mengikuti pembelajaran online. Bahkan ada juga yang tidak memiliki HP.
“Kalau pun punya HP, dan punya kuota (internet) tapi malah main game. Pengawasan susah,” ujarnya.
Proses pembelajaran tidak terpantau, juga karena tidak ada pengawasan dari orang tua. Sebab orangtua juga bekerja atau bahkan merantau. Hal itu tentu menjadikan kekhawatiran, pada semakin rendahnya minat belajar siswa. Padahal kondisi ini tidak bisa dipastikan kapan akan berakhir.
“Kalau pagi hari sering melihat juga anak-anak malah bermain di sungai, orangtua yang diminta mengawasi juga malah curhat, karena anak bandel. Termasuk membatasi untuk main game online,” katanya.
Seperti halnya disampaikan oleh Sapti, Sobar pun mengeluhkan terkait penilaian terhadap siswa. Meskipun tugas diberikan setiap hari dan dikumpulkan hari itu juga. Namun, ada saja yang acuh dan tidak mengumpulkan. Sementara rapot harus tetap ada nilainya.
“Sangat sangat mending pembelajaran secara tatap muka langsung, untuk daring baik SDM maupun sarpras belum mendukung,” kata dia.