SERAYUNEWS – Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat dan menyita perhatian publik.
RUU ini diyakini bisa menjadi senjata hukum ampuh untuk menangani korupsi, terutama yang melibatkan aktor-aktor besar di perusahaan pelat merah seperti PT Pertamina, PLN, hingga Antam.
Sayangnya, meski RUU ini telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hingga kini belum juga disahkan menjadi undang-undang. Bahkan dalam Prolegnas Prioritas 2025, RUU ini tak lagi tercantum.
RUU Perampasan Aset bukan barang baru. Inisiasinya dimulai pada 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepanjang perjalanannya, draf RUU ini sudah beberapa kali mengalami revisi karena dianggap memuat pasal-pasal kontroversial.
Di 2010, pembahasan antarkementerian rampung dan naskah RUU disiapkan untuk diajukan ke Presiden.
Dua tahun berikutnya, Badan Pembinaan Hukum Nasional menyusun naskah akademik untuk memperkuat fondasi hukumnya.
DPR sempat memasukkan RUU ini dalam Prolegnas jangka menengah 2015, tetapi realisasinya masih mandek. Usulan kembali muncul pada 2019, namun tidak kunjung dibahas hingga tenggat waktu habis.
Lalu, di tahun 2021, DPR mencabut RUU ini dari Prolegnas karena alasan keterbatasan waktu. Semangat kembali muncul saat Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden ke DPR pada 2023 agar RUU ini segera dibahas.
Sayangnya, hingga akhir 2023 dan bahkan hingga sidang paripurna terakhir DPR pada 6 Februari 2024, RUU ini belum juga disentuh.
Draf RUU Perampasan Aset mengatur tentang aset yang dapat dirampas negara jika terkait dengan tindak pidana. Berikut poin-poin penting yang tercantum dalam naskah draf:
Salah satu alasan utama mandeknya pembahasan RUU ini adalah pertarungan kepentingan. Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan tokoh-tokoh politik atau elite birokrasi.
Maka tak heran, menurut pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, RUU ini butuh keberanian politik ekstra dari DPR.
“Kami terus mendorong political will DPR agar segera menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi undang-undang,” ujar Hardjuno.
Ia juga menilai bahwa keberhasilan implementasi RUU ini sangat bergantung pada kolaborasi nyata lintas lembaga serta keberanian menembus resistensi dari dalam sistem.
RUU Perampasan Aset menjadi sangat relevan dalam konteks pemberantasan korupsi yang masif dan kompleks.
Dengan pendekatan non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa pidana), negara bisa lebih cepat mengamankan hasil tindak pidana tanpa harus menunggu proses hukum yang panjang dan berliku.
Presiden Joko Widodo dan mantan Menko Polhukam Mahfud MD bahkan pernah secara terbuka meminta DPR agar segera membahas RUU ini, terutama setelah muncul laporan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan.
Jika Anda ingin membaca langsung isi lengkap dari draf RUU ini, Anda bisa mengaksesnya melalui tautan berikut:
https://id.scribd.com/document/661275364/Draft-Final-RUU-Perampasan-Aset
Penutup
Sayangnya, hingga kini, tak ada sinyal kuat dari DPR untuk kembali membahas RUU ini, meski secara administratif sebenarnya dapat diusulkan oleh Komisi III dan Komisi XIII.
Nama RUU Perampasan Aset bahkan tak muncul dalam dokumen prolegnas prioritas tahun 2025. Namun demikian, suara publik dan dukungan dari masyarakat sipil semakin lantang.
Banyak pihak menilai bahwa pengesahan RUU ini adalah langkah besar menuju sistem hukum yang adil dan tegas terhadap para koruptor.***