SERAYUNEWS— Kraca merupakan kuliner favorit masyarakat Banyumas kala Ramadan tiba. Kraca adalah keong sawah yang dimasak dengan berbagai macam rempah dan bumbu dapur.
Kudapan unik ini memiliki rasa gurih, manis, dan kuah yang pedas. Mengutip dari berbagai sumber, cara memasak prosesnya cukup rumit dan membutuhkan ketelitian.
Sebelum proses masak, kraca harus direndam air semalaman. Kemudian, ujung cangkang di pecah agar saat proses masak daging dalamnya matang dan berbumbu.
Cara menikmati kraca ini biasanya dengan menyedot keong yang sudah dibuang penutup atau bisa juga dicukil menggunakan lidi ataupun gigi garpu.
Selain rasanya yang lezat kraca juga menyehatkan. Kraca mengandung protein 12%, kalsium 217 mg, dalam 100 gram keong sawah. Sisanya mengandung energi, protein, kalsium, karbohidrat. Lantas, apakah makanan ini halal?
Kebingungan menyikapi status kehalalan keong tuntas oleh Kitab ‘Aisyul Bahri. Kitab itu merupakan tulisan salah satu ulama Nusantara yang meneliti hewan-hewan yang hidup di sekitar air. Beliau bernama Kiai Muhammad Anwar dari Batang Jawa Tengah.
Dalam kitab yang berbahasa Arab itu, keong dia sebutkan bersama dengan beberapa hewan lain yang halal. Uniknya, meskipun berbahasa Arab, Kiai Anwar menyebutkan hewan-hewan khusus yang dia bahas dalam kitab tersebut dengan bahasa setempat.
“Hewan air yang hidupnya seperti hewan yang tidak dapat bertahan lama di darat seperti kepiting, bulus, belut, dan keong, maka halal juga memakannya.” (Anwar, ‘Aisyul Bahri, tanpa tahun: halaman 4)
Dalam kitab tersebut, penulisan keong dengan nama al-keyongu masuk ke dalam hewan yang halal karena tidak bisa bertahan hidup lama tanpa adanya air. Oleh karena itu, hukumnya halal.
Pendapat Kiai Anwar tentang keong ternyata juga sejalan dengan pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kehalalan keong atau tutut (Filopaludina Javanica) disampaikan oleh sekretaris fatwa MUI, KH. Asrorun Niam Sholeh. Alasan kehalalan karena keong atau tutut tersebut habitat asalnya di air. Penelitian biologi LIPI menguatkan pendapat ini.
Penelitian LIPI menyebutkan bahwa habitat keong tersebut berair sehingga keong tidak bisa bertahan hidup lama tanpa air. Dengan habitatnya yang berair tersebut, keong air tawar merupakan hewan akuatik.
Selain itu, keong termasuk Moluska yaitu hewan lunak dan memiliki cangkang. (Marwoto dkk, 2014, Tinjauan Keanekaragaman Moluska Air Tawar di Beberapa Situ di DAS Ciliwung-Cisadane, Berita Biologi 13 (2): halaman 181-189)
Dengan status hewan air sebagaimana yang dulu Kiai Anwar kemukakan dalam Kitab ‘Aisyul Bahri, keong tersebut halal. Demikian begitu, kaum Muslim yang menikmati menu kraca untuk berbuka puasa tidak perlu lagi meragukan kehalalannya.*** (O Gozali)