SERAYUNEWS— Riset sebuah platform marketplace, Tinkerlust, melaporkan bahwa rata-rata orang akan membuang tiga dari lima pakaian yang mereka beli dalam waktu setahun. Padahal, bahan pakaian saat ini lebih banyak terbuat dari serat sintetis yang baru bisa terurai di tanah selama 20-200 tahun.
Sampah pakaian menjadi penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Sebanyak 92 juta ton sampah pakaian diproduksi setiap tahunnya. Limbah fashion yang terbuang begitu saja ke lautan dapat mengakibatkan pencemaran air. Pencemaran air itu menyebabkan banyak ikan dan biota laut lainnya terkena mikroplastik.
Sementara itu, YouGov mencatat, 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dalam setahun. Bahkan, tiga dari sepuluh orang Indonesia membuang pakaian setelah hanya memakainya sekali.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan sampah kain menyumbang 2,5% dari total volume sampah. Meski persentase relatif kecil, tindakan pembuangan pakaian diprediksi akan semakin marak dan meningkatkan angka sampah pakaian.
Lebih lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 melalui SIPSN mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga.
Dari keseluruhan limbah pakaian tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah pakaian yang mengalami daur ulang. Di Indonesia, sebanyak 70% persen bagian tengah Sungai Citarum telah tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester yang berasal dari industri tekstil. Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) berhasil menemukan fakta ini.
National Geographic bahkan menyebut, industri fashion diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih dan 10% emisi karbon secara global.
The Sustainable Fashion Forum mengungkapkan, konsumsi pakaian dunia perkiraannya akan terus meningkat hingga 63% pada 2030, dari 62 juta ton menjadi 102 juta ton. Akibatnya, limbah tekstil di seluruh dunia kira-kira akan mencapai 300 juta ton pada 2050.
Fenomena Fast Fashion
Dalam Tinkerlust Impact Report 2022, terdapat 63,46 persen warga Indonesia yang lebih suka membeli produk fast fashion karena mudah dan fashionable.
Berbagai tren fashion silih berganti hadir di tengah masyarakat. Adanya media sosial menyebabkan persebaran mode-mode baru pakaian berlangsung secara cepat. Akibatnya, masyarakat melakukan belanja pakaian secara masif untuk dapat memenuhi hasrat mengikuti tren.
Dengan adanya kemudahan teknologi yang memungkinkan masyarakat dapat berbelanja secara cepat dan mudah, industri di dunia menawarkan produk fast fashion yang dapat menyediakan banyaknya permintaan dengan harga yang relatif murah.
Indikator Politik Indonesia membuat sebuah survei mengenai akses media dan perilaku digital yang melibatkan 733 responden. Hasilnya, 65,7% responden mengaku pakaian atau fashion menjadi jenis barang yang paling sering mereka beli saat berbelanja online.
Dengan harga beli yang murah, masyarakat cenderung mengikuti mode fashion terkini dengan membeli baju-baju terbaru dari industri fast fashion.
Rendahnya harga dari para pelaku usaha fast fashion membuat masyarakat merasa tidak sayang untuk membuang pakaian lama. Padahal, itu masih layak pakai. Dengan demikian, lingkungan terus menerima sampah-sampah pakaian dalam jumlah yang tidak sedikit.*** (O Gozali)