SERAYUNEWS— Film “Darah dan Doa” menjadi film pertama yang diproduksi oleh perusahaan film Indonesia (Perfini) pada 30 Maret 1950. Mengutip dari laman Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, tanggal tersebut kemudian menjadi Hari Film Nasional.
Jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sebenarnya mulai mengenal film pada 5 Desember tahun 1900 yang mana surat kabar Bintang Betawi memuat iklan tentang Pertoenjoekan Besar jang Pertama di Hindia Belanda, menunjukkan bahwa saat itu film sudah mulai masuk.
Kehadiran film di Hindia Belanda awalnya hanya menjadi konsumsi masyarakat Eropa di Indonesia. Namun, kaum pribumi juga ikut menyukainya.
Tak lama setelah itu, banyak film-film Amerika Serikat yang marambah di tanah air. Film-film itu menawarkan alur cerita yang bervariasi. Pribumi semakin akrab dengan kebiasaan menonton film luar.
Itu sebabnya film “Loetoeng Kasaroeng”, film pertama yang diproduksi oleh Indonesia, dulunya Hindia Belanda, masuk kategori film gagal.
Film dengan konsep bisu dan menjadi film pertama di Indonesia itu hanya bertahan selama seminggu karena masih kalah dari film-film Hollywood.
Bisa jadi sejak itu, kita kecanduan film-film Hollywood sampai sekarang. Mengutip dari katadata.co.id, untuk tahun 2023 film Indonesia memang sudah menguasai sekitar 48% film yang beredar di tanah air dengan peningkatan jumlah penonton 17% ketimbang tahun sebelumnya.
Ini mengindikasikan bahwa film karya anak bangsa mampu bersaing dengan film-film produksi Hollywood, tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan jumlah penonton film box office dari Amerika.
Sejak 2013, jumlah film Indonesia konsisten berada di atas 100 film per tahun. Bahkan pada 2016 rekor jumlah penonton terbanyak berhasil dipecahkan oleh film “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1”. Film besutan Anggy Umbara ini berhasil mencatatkan jumlah penonton sebesar 6,8 juta orang.
Walau telah mengalami peningkatan, tetapi tetap saja masyarakat masih suka membandingkan antara film luar dengan film dalam negeri. Baik dari segi mutu, cerita, genre, ataupun garapan sutradara mana.
Stigma itu pun kian berkembang dari mulut ke mulut. Padahal faktanya banyak film Indonesia menembus industri film luar negeri, bahkan mendapatkan penghargaan serta apresiasi.
Film garapan sutradara Timo Tjahjanto “The Night Comes For Us” adlah film Indonesia pertama yang masuk Netflix, media streaming digital berpusat di Los Gatos, California.
Lalu, “Sekala Niskala (The Seen and Unseen)” karya sutradara Kamila Andini berhasil memenangi penghargaan kategori Generation Kplus International Jury pada Festival Film Internasional Berlinale 2018 di Berlin, Jerman.
Garin Nugroho melalui film “Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body)” memenangkan penghargaan Cultural Diversity Award Under the Patronage of UNESCO pada perhelatan Asia Pasific Screen Awards ke-12 di Brisbane, Australia.
Bagaimanapun, industri film Indonesia beserta ekosistemnya memiliki peluang yang sangat besar untuk bangkit kembali. Hanya saja, perlu dukungan segala pihak, termasuk dukungan masyarakat agar industri ini dapat kembali bergeliat.
Saatnya menghapus stigma film luar negeri lebih keren ketimbang film Indonesia, seraya berkata film Indonesia menolak kalah.*** (O Gozali)