SERAYUNEWS- Pendapatan pemerintah menjadi tulang punggung dalam membiayai pembangunan nasional, menjaga pelayanan publik, dan memastikan stabilitas fiskal.
Struktur pendapatan ini mencerminkan bukan hanya kekuatan ekonomi, tetapi juga arah kebijakan fiskal serta strategi pembangunan jangka panjang suatu negara.
Data tahun 2023 membuka gambaran menarik ketika kita membandingkan dua raksasa Asia dengan karakter ekonomi yang berbeda: Indonesia dan China.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy dalam keterangannya menyebut, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, total pendapatan Indonesia mencapai Rp 2.443,6 triliun.
⦁ Pajak: Rp 2.016,9 triliun (77,9%)
⦁ Non-Pajak: Rp 426,3 triliun (22,1%)
Sumber non-pajak ini berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti royalti SDA, dividen BUMN, pengelolaan aset negara, hingga pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Angka tersebut memperlihatkan bahwa seperlima lebih pendapatan Indonesia masih bergantung pada sektor di luar pajak, terutama sumber daya alam yang sifatnya ekstraktif.
China memperlihatkan struktur pendapatan yang lebih kuat pada sektor pajak. Berdasarkan anggaran nasional 2023:
⦁ Pajak: 80,3%
⦁ Non-Pajak: 19,7%
Artinya, ketergantungan China pada non-pajak lebih rendah dibanding Indonesia. Dengan basis pajak yang lebih luas, stabil, dan berkelanjutan, China memiliki ruang fiskal lebih besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, hingga inovasi teknologi.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menjelaskan, jika menyesuaikan dengan paritas daya beli (PPP), perbedaan kapasitas fiskal makin jelas:
⦁ China: penerimaan non-pajak per kapita USD 1.458
⦁ Indonesia: penerimaan non-pajak per kapita USD 581
Dengan kata lain, kemampuan China dalam mengelola non-pajak per kapita 2,5 kali lebih tinggi dibanding Indonesia. Faktor ini menunjukkan skala ekonomi, tingkat industrialisasi, dan efektivitas pengelolaan aset publik yang jauh lebih matang.
Indonesia masih bergantung pada pendapatan non-pajak dari SDA yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Untuk memperkuat kapasitas fiskal, ada beberapa langkah penting:
⦁ Membangun basis pajak lebih luas melalui reformasi administrasi dan transparansi pengelolaan.
⦁ Mendorong industrialisasi dan hilirisasi agar SDA menghasilkan nilai tambah.
⦁ Mengoptimalkan pengelolaan aset publik sehingga memberi kontribusi berkelanjutan.
Contoh sukses terlihat pada hilirisasi nikel yang meningkatkan penerimaan pajak daerah, meski keberhasilan ini belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
Selama ini, perencanaan ekonomi Indonesia sering mengandalkan model sederhana yang mengasumsikan pertumbuhan otomatis meningkatkan pendapatan negara. Padahal, realitas di lapangan dipengaruhi banyak faktor: kebijakan pemerintah, tata kelola, infrastruktur, hingga dinamika politik.
Tanpa pendekatan kontekstual, prediksi fiskal bisa jauh meleset. Karena itu, strategi ekonomi harus menangkap kompleksitas nyata, bukan hanya optimisme angka pertumbuhan.
Perbandingan pendapatan pemerintah Indonesia dan China pada 2023 menegaskan bahwa orientasi pajak yang kuat memberi stabilitas jangka panjang.
Indonesia perlu mengadopsi pola serupa, tetapi tetap menyesuaikan dengan kondisi sosial-politik dalam negeri.
Penguatan basis pajak, industrialisasi, dan pengelolaan aset publik produktif menjadi kunci agar kapasitas fiskal Indonesia mampu menopang pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata.