SERAYUNEWS- Pada hari ini umat Islam dunia memperingati Tahun Baru Hijriyah 1447 Hijriyah. Tahun Baru Hijriyah menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk melakukan refleksi spiritual, intelektual, dan sosial.
Tahun Baru Hijriyah bukan sekadar penanda pergantian waktu dalam kalender Islam, tetapi juga simbol transformasi dan perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik.
Semangat hijrah yang melandasi penetapan kalender Islam menyimpan nilai-nilai besar tentang perubahan, perjuangan, dan kolaborasi dalam membangun peradaban.
Rektor UIN Saizu Purwokerto, Prof. Ridwan dalam artikelnya menyebut, diskusi intensif terjadi di antara para sahabat Rasulullah tentang titik awal penanggalan Islam.
Ini menunjukkan bahwa umat Islam sejak awal telah memiliki budaya berpikir kritis dan beradab.
Berbagai usulan bermunculan, mulai dari hari kelahiran Nabi, wafatnya, penaklukan Makkah, hingga akhirnya peristiwa hijrah dipilih sebagai tonggak awal kalender Hijriyah.
Keputusan untuk menjadikan hijrah sebagai titik awal kalender Islam bukan semata-mata karena urgensi historisnya, tetapi karena makna filosofis yang dikandungnya.
Hijrah mencerminkan gerak, dinamika, dan perubahan. Ia menandai transisi dari kondisi tertindas menuju masyarakat yang merdeka, dari keterbatasan menuju kelapangan, dari gelap menuju terang.
Prof. Ridwan menyebut, hijrah mengajarkan bahwa hidup sejatinya adalah gerak. Dalam bahasa Arab, “harakah” berarti gerakan. Manusia dinilai hidup bukan hanya dari detak jantungnya, tetapi dari kemampuannya untuk bergerak secara fisik, psikis, intelektual, dan spiritual.
Pergerakan Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah tidak hanya memindahkan tubuh beliau secara geografis, tetapi juga menggerakkan kesadaran umat. Spirit hijrah membakar semangat untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkeadaban.
Gerak yang dimaksud bukanlah sekadar mobilitas tanpa arah, melainkan gerak yang terorganisir, bertujuan, dan memiliki orientasi pada perubahan positif.
Dalam konteks ini, hijrah bisa dimaknai sebagai langkah transformasional sebuah perjalanan menuju kualitas hidup yang lebih tinggi.
Lebih lanjut Prof. Ridwan menyebut, perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW sarat dengan kerja kolektif dan sinergi lintas kelompok. Peristiwa besar ini tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan oleh satu tokoh tunggal.
Abu Bakar menemani Nabi dalam perjalanan yang penuh risiko. Ali bin Abi Thalib berani menggantikan posisi tidur Nabi di malam pembunuhan yang direncanakan kaum Quraisy. Asma binti Abu Bakar mengantar logistik secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan penggembala kambing ikut berperan menghapus jejak langkah mereka agar tidak terlacak. Dan lebih menarik lagi, seorang non-Muslim bernama Abdullah bin Uraiqith turut menjadi penunjuk jalan ke Yasrib (Madinah) karena ia memiliki pengetahuan medan yang luas dan dapat dipercaya.
Hal ini membuktikan bahwa perubahan besar dan peradaban agung hanya bisa terwujud melalui sinergi lintas generasi, gender, bahkan lintas iman.
Tidak ada dominasi satu golongan. Semua terlibat. Semua berkontribusi. Semua mengambil peran dalam satu visi bersama.
Perjalanan Nabi menuju Madinah tidak menempuh jalur utama yang biasa digunakan para musafir, melainkan jalur alternatif yang jarang dilalui orang.
Strategi ini menunjukkan kecerdasan Nabi dalam membaca situasi dan mencari solusi yang kreatif dan tidak biasa.
Pesan dari strategi ini sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern. Kesuksesan tidak selalu hadir dari jalan yang biasa.
Kita memerlukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman, mengeksplorasi ide-ide baru, dan berpikir di luar pakem. Jalan-jalan alternatif sering kali menjadi jalur emas untuk menemukan terobosan.
Inti dari hijrah adalah semangat perubahan. Setiap individu yang melakukan hijrah sejatinya sedang memproses dirinya untuk menjadi lebih baik.
Hijrah bukan hanya berpindah tempat, tetapi berpindah dari ketidakadilan menuju keadilan, dari kebodohan menuju pencerahan, dari kemunduran menuju kemajuan.
Dalam konteks ini, Muhammad Iqbal, cendekiawan Muslim dari Asia Selatan, pernah mengingatkan: “Sekali berhenti, berarti mati.”
Kalimat ini menyiratkan pesan bahwa stagnasi adalah awal dari kehancuran. Hidup harus terus bergerak, berpikir, mencari, dan berinovasi. Umat Islam dituntut untuk menjadi pribadi yang aktif, kreatif, dan progresif.
Spirit hijrah mendorong kita untuk menjaga nilai lama yang baik (al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih), sambil terbuka menerima hal baru yang lebih baik (al-akhdzu bil-jadid al-ashlah).
Dalam dialektika ini, peradaban akan terus berkembang dan mengakar kuat dalam nilai-nilai keislaman yang kontekstual dan solutif.
Tahun Baru Hijriyah seharusnya menjadi momen reflektif yang melahirkan energi baru untuk melakukan transformasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Baik di tingkat individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Visi besar tidak akan pernah tercapai tanpa kerja bersama. Keberhasilan membangun peradaban selalu lahir dari kolaborasi lintas batas, kerja keras, dan keikhlasan.
Umat Islam harus mampu mewarisi semangat hijrah: semangat untuk berbenah, memperbaiki diri, memperkuat solidaritas, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Momentum ini adalah panggilan untuk berpindah dari pasif menjadi aktif, dari sekadar bertahan menjadi pemimpin perubahan.
Hijrah dan harakah adalah dua kata kunci penting dalam membangun peradaban Islam. Keduanya mencerminkan bahwa kehidupan ini tidak statis, melainkan dinamis.
Gerak adalah tanda kehidupan. Dan hijrah adalah gerak yang penuh kesadaran, strategi, serta cita-cita luhur.
Mari jadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai awal baru untuk hijrah kolektif menuju masyarakat yang lebih adil, cerdas, damai, dan beradab.
Sebab, sebagaimana Rasulullah membangun peradaban dari Madinah, kita pun bisa memulai peradaban baru dari ruang-ruang kecil kehidupan kita dengan semangat harakah yang tak pernah padam.