SERAYUNEWS- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang resmi berjalan sejak Januari 2025 menjadi tonggak baru hadirnya negara dalam membangun kualitas manusia Indonesia.
Dalam 9 bulan pertama, program ini telah menyalurkan lebih dari 1,1 miliar porsi kepada 20 juta anak, mengubah ritme sekolah, memperkuat jaringan dapur, sekaligus menjadikan meja makan anak sebagai ukuran nyata keberhasilan kebijakan.
Namun, di balik capaian besar itu, muncul tragedi kesehatan yang menimpa sebagian anak. Bagi Ketua Umum Prabu, Arvindo Noviar, peristiwa ini bukan akhir, melainkan momentum penting untuk menjadikan MBG lebih kuat, transparan, dan berkelanjutan.
Pemenuhan gizi anak bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan hak dasar yang wajib dipenuhi negara. Anak yang sehat dan bergizi baik lebih siap mengikuti pelajaran dengan mutu yang setara.
Arvindo dalam keterangannya menegaskan, makan bergizi gratis dan pendidikan gratis bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan.
Keduanya saling melengkapi dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh sehat tubuhnya, cerdas nalar pikirannya.
Keberhasilan menyajikan jutaan porsi setiap hari adalah bukti kapasitas koordinasi yang luar biasa. Tetapi, skala sebesar ini juga menghadirkan risiko: standar mutu dan keamanan pangan bisa terganggu jika rantai pasok tidak dikelola dengan disiplin.
Mulai dari perencanaan menu, pengadaan bahan, kesiapan dapur, hingga distribusi makanan ke sekolah, setiap mata rantai menuntut ketelitian, keterampilan teknis, dan pengawasan ketat.
Data pemerintah mencatat 5.000-5.320 kasus kesehatan terkait MBG, sementara pemantauan masyarakat sipil menyebut angka sekitar 5.360 anak terdampak.
Jika dibandingkan dengan 1,1 miliar porsi yang tersaji, persentasenya sangat kecil, yakni 0,000487 persen atau kurang dari 5 kasus per 1 juta porsi.
Meski begitu, satu anak sakit sudah cukup alasan untuk bertindak serius. Kepercayaan publik hanya bisa dipulihkan lewat tanggung jawab nyata.
Otoritas gizi nasional bergerak dengan sejumlah keputusan penting:
– Melarang dapur tanpa sertifikasi menyajikan makanan olahan.
– Menutup sementara ±40 dapur untuk evaluasi.
– Mempercepat sertifikasi higiene dapur.
– Melibatkan BPOM, Kepolisian, dan Dinas Kesehatan dalam pengawasan.
Menurut Arvindo, koreksi yang terlembaga akan bertahan lebih lama daripada sekadar reaksi sementara terhadap sorotan media.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada tragedi ini antara lain:
– Jarak waktu terlalu panjang antara memasak dan menyajikan.
– Kontrol suhu penyimpanan yang lemah.
– Kapasitas dapur melebihi batas wajar.
– Menu yang terlalu kompleks.
Solusinya adalah disiplin organisasi yang terukur, penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), pencatatan suhu, verifikasi jam masak, hingga inspeksi mendadak.
Keberhasilan MBG juga bergantung pada keterbukaan informasi.
Dashboard publik yang menampilkan jumlah porsi, daftar dapur aktif, hasil inspeksi, dan kasus terbaru akan membuat orang tua, guru, puskesmas, hingga relawan desa merasa dilibatkan.
Dengan data terbuka, pengawasan menjadi kerja kolektif, bukan hanya tanggung jawab negara.
Arvindo menekankan bahwa anak di pedalaman berhak atas gizi yang sama dengan anak di kota besar. Itu berarti pemerintah wajib memperkuat logistik, menambah rantai dingin, dan menyesuaikan standar dengan kondisi wilayah.
Program MBG bukan hanya memberi gizi anak, tetapi juga membuka peluang ekonomi. Tenaga kerja lokal, UMKM pangan, hingga koperasi menjadi bagian dari rantai pasok.
Namun, agar tidak menjadi sumber risiko, mereka wajib mendapat pelatihan higiene dan sertifikasi keamanan pangan.
Standardisasi menu penting agar selera anak terpenuhi tanpa mengorbankan keamanan. Variasi makanan boleh ada, tetapi menu sederhana berbahan segar lokal lebih aman, mudah diolah, dan terjangkau logistik.
Setiap kasus keracunan harus melahirkan evaluasi permanen, bukan sekadar berita singkat. Kontrak vendor, prosedur dapur, hingga standar distribusi wajib diperbaiki agar kejadian serupa tidak terulang.
Bagi Arvindo, MBG adalah kerja peradaban yang menegaskan otoritas moral negara untuk menjamin hak gizi anak.
Politik mendapatkan legitimasi ketika berpihak pada kehidupan dan keberlanjutan generasi.
“Setiap porsi makanan yang sampai di tangan anak adalah simbol kerja kolektif negara dan rakyat dalam menegakkan hak gizi generasi,” tegasnya.