SERAYUNEWS – Ada hubungan yang tak bisa terlepaskan, antara Banyumas dengan Keratonan Surakarta.
Hal itu bisa terlihat dari tradisi ‘Ngalab Berkah’ oleh turunan Keraton Surakarta. Setiap tahun, di Bulan Suro, tradisi itu rutin terlaksana di Baturraden.
“Ini merupakan kegiatan ke 17 kalinya, rutin tiap Suro,” kata Ketua Paguyuban Kawula Surakarta (Pakasa) Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, Selasa (01/08/2023) malam.
Merawat tradisi, menjaga budaya, merupakan suatu kemaslahatan. Menjaga keseimbangan kehidupan, di tengah perkembangan zaman. Sebagai manusia, penting untuk mengingat sejatinya diri.
Dalam sambutannya, Joko Wiyono mengutip kalimat Bung Karno, ‘Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat dan budayanya,’.
Dia menjelaskan, Ngalab Berkah ini merupakan kegiatan yang sifatnya kultural atau budaya. Kegiatan ini bentuk menghormati leluhur, menjadi media bersinergi dengan alam.
“Masyarakat Jawa itu selalu bersinergi dengan alam, dengan leluhur. Tujuannya adalah manusia dalam kehidupannya bisa menempatkan diri, sesuai proporsinya. Kenapa di Bulan Suro, karena Asuro itu sakral, penuh dengan rahmat,” katanya.
Biasanya, prosesi Ngalab Berkah di awali dengan arak-arakan gunungan hasil bumi. Rombongan di pimpin utusan Keratonan, berjalan memasuki lokawisata Baturraden. Para abdi dalem, membawa tampah berisi sesaji dengan iringan ratusan anggota paguyuban.
Titik yang di tuju adalah Petilasan Gusti Kenconowungu, seorang kerabat Keraton Surakarta. Tempatnya ada di suatu sudut di kawasan lokawisata Baturraden.
Suasana hening, membuat prosesi terasa sangat sakral. Doa selesai, rombongan turun dan berkumpul di sebuah pendopo. Acara berikutnya adalah Kenduri atau potong tumpeng dan makan bersama.
Sama rata sama rasa, baik abdi dalem urusan Keratonan surakarta, dan masyarakat yang hadir makan bersama. Implementasi dari kodrat manusia, sebagai makhluk sosial.
Agus Sulistiyono atau Kanjeng Raden Arya Esto Mangunkusumo, adalah seorang yang di angkat sebagai Sentolo Dalam. Dia menceritakan, dawuh dari Ratu Majapahit yakni Titi Dewi Kencono Wungu, memerintahkan untuk ritual Suro di Baturraden. Ritual tersebut, harus di lakukan oleh seorang prajurit.
“Jadi dulu itu di sini (Baturraden, red) banyak yang sakit, kemudian meninggal. Kemudian di perintahkan untuk melakukan ritual, syaratnya yang melakukan adalah prajurit atau abdi dalem. Waktu itu, adalah Senopati Ingalaga adalah seorang raja,” katanya.
Gunung Slamet ini, di yakini sebagai titik pusat peradaban. Pada lereng Slamet ini, ada Jenggala dan Kediri, di bawah kepimpinan Raden Panji Asmoro Bangun yang menjadi soko guru.
Banyumas ini tidak berada di kekuasaan mana pun, baik mataram maupun Padjajaran. Jadi hubungannya itu lebih tinggi dari sekadar trah, yaitu Nusantara.
“Surakarta hadir ke sini, sebagai bentuk menghormati leluhur mereka. Jadi Surakarta, Padjajaran itu berawal dari sini. Jadi ini bukan hubungan Surakarta dengan Banyumas, Padjajaran dengan Banyumas. Tapi ini Surakarta dan Padjajaran, berawal dari sini. Di sini ini pusat atau puser,” kata dia.