SERAYUNEWS—Penyair William Shakespeare pernah berkata, yang kita sebut mawar, dengan nama lain pun aromanya pasti harum. Tampaknya, perkataan ini agak kurang tepat.
Ternyata nama itu penting, banyak orang jika tidak menyukai suatu nama, nama tersebut bisa berubah.
Berbagai pemerintah di seluruh dunia ini telah mengganti ratusan nama kota, jalan, gunung, taman nasional, dan masih banyak lagi.
Turki resmi menjadi Türkiye karena Recep Tayyip Erdogan tidak menyukai negaranya orang kaitkan dengan burung kalkun (turkey).
Sebelum abad ke-5, Paris bernama Lutut. Sebelum 1665, New York adalah New Amsterdam. Dari tahun 1793 hingga 1834, Toronto dikenal sebagai York. Sebelum tahun 1868, Tokyo disebut Edo.
Perubahan nama yang paling terkenal dalam sejarah, pada 1930, Konstantinopel menjadi Istanbul, menginspirasi kebanggaan Türkiye serta lagu berjudul “Istanbul (Not Constantinople)”.
Banyak orang Vietnam yang masih menyebut Kota Ho Chi Minh sebagai Saigon, dan banyak orang India yang masih menyebut Mumbai dengan Bombay.
India memang paling menonjol dalam urusan perubahan nama. Dalam beberapa dekade terakhir, nama-nama kolonial dan Islam telah berganti dengan nama Hindu.
Madras menjadi Chennai, Kalkuta menjadi Kolkata, Bangalore menjadi Bangaluru ,dan Allahabad menjadi Prayagraj.
Terakhir, mereka mengisyaratkan negaranya mungkin akan segera menggunakan nama baru, yaitu Bharat, nama Sansekerta dan Hindi untuk India.
Pemerintah telah menetapkan nama Nusantara sebagai Ibu Kota baru, nama ini terpilih Presiden Jokowi dari 80 nama.
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyampaikan hal ini saat rapat bersama Panja RUU IKN, Senin (17/1/2022). Kemudian, pemerintah secara resmi memakai dan menuangkan nama ini dalam UU IKN no. 3 tahun 2022. Presiden Jokowi menandatanganinya pada tanggal 15 Februari 2022.
Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi PDI-P TB Hasanuddin pernah mengingatkan agar berhat-hati dalam menetapkan nama Nusantara.
Menurutnya, berdasarkan sejarah, Gajah Mada menggunakan kata Nusantara dalam sumpah palapa untuk menaklukkan wilayah-wilayah, bukan mempersatukan Indonesia.
“Belum tentu oleh etnis Sunda, etnis yang ada di Borneo, ini diterima Pak, karena amukti palapa (sumpah palapa) itu, mohon maaf mungkin untuk orang Sunda dipertanyakan, ini soal penaklukkan,” kata Hasanuddin) 17/1/2024).
Menurut Sejarawan UGM, Arif Akhyat, kata Nusantara sudah dikenal sejak lama di era masa kerajaan Singosari dan Majapahit untuk merujuk wilayah pulau luar jawa.
“Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa. Jadi sebenarnya, Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif Akhirat (19/1/2024).
Ibu Kota Negara Nusantara terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Banyak orang saat ini lebih tahu sebutan Nusantara daripada nama asli kotanya, Penajam.
Terkait ini, Arif punya pandangan, nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya.
Bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah, biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.
“Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” ujarnya.
Lantas, apakah nama Nusantara bakal seterusnya atau bakal berganti seperti pergantian nama-nama kota lain?
Jakarta sendiri pernah mengalami 13 kali perubahan nama, mulai dari nama Sunda Kelapa. Batavia, dan seterusnya. ***(Kalingga Zaman)