SERAYUNEWS— Berdasarkan sejarahnya, nyadran hadir sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Jawa di bulan Syakban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa).
Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur yang masyarakat lakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur.
Selain sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, nyadran juga dimaksudkan sebagai pengingat diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian.
Secara bahasa, nyadran sendiri berasal dari sraddha yaitu bahasa Sanskerta yang bermakna keyakinan. Ada juga yang berpendapat nyadran berasal dari Bahasa Arab, shodron yanģ artinya dada.
Tradisi nyadran mengajarkan manusia kon do ndodo, kon do rumongso, kon do iling Sangkan Paraning Dumadi. Filosofi ini, tak lain dari potongan dari ayat Alquran, dari surat Al-Baqarah ayat 156 yaitu inna lillahi wa inna ilaihi raj’un. Semua dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Ada yang menganggap nyadran tradisi Hindu-Budha, bahkan ada masyarakat justru terjebak pada penghakiman takfiri (mengafirkan), tabdi’ (mebidahkan), dan tasyri’ (mensyirikkan).
Padahal sebenarnya, para ulama terdahulu dan Walisongo telah mengganti dengan cara Islam. Makan-makannya tetap, tapi tradisi ritual doanya berganti dengan tahlilan, yasinan, dan manaqiban.
Sebagai salah satu kearifan lokal, tradisi nyadran sebenarnya memiliki nilai-nilai tasawuf sosial yang erat kaitannya antara manusia (hablum minannas), alam (hablum minalalam), dan Tuhan (hablum minallah).
Nyadran menjadi tiket menggapai kemesraan spritualitas pada Tuhan, leluhur dan alam. Tanpa itu, kita hanya menjadi manusia yang sepi akan kemesraan.
Spiritualitas adalah sebuah jalan hidup yang berpijak pada kesadaran sederhana, bahwa ada sesuatu yang lebih dari diri kita. Sesuatu yang lebih itu tidak terpisah dari diri kita. Ia adalah sumber dari segala yang ada. Ia adalah kehidupan itu sendiri. *** (O Gozali)