SERAYUNEWS- Pengamat Politik Unsoed Purwokerto, Ahmad Sabiq MA, menyoroti dampak negatif calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024.
Menurut Ahmad Sabiq, dari sudut pandang demokrasi, calon tunggal mengurangi esensi dari kompetisi yang sehat. Padahal, itu merupakan bagian penting dari sistem demokrasi.
“Demokrasi itu, seharusnya memberikan pilihan kepada pemilih,” ujarnya.
Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed itu menegaskan, keberadaan calon tunggal menghilangkan elemen krusial dari pemilihan, yaitu persaingan antar calon pemimpin.
“Fenomena ini berpotensi mengurangi partisipasi pemilih,” jelasnya.
Dia menjelaskan, ketika tidak ada alternatif yang jelas, pemilih bisa saja merasa pilihan mereka tidak akan berdampak signifikan. Ini yang menurutnya berpotensi menyebabkan apatisme.
Ahmad Sabiq juga menyebutkan, fenomena calon tunggal ini dapat menjadi alarm bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun secara prosedural sah, keberadaan calon tunggal menyisakan rasa kekecewaan.
“Jika Pilkada adalah pesta demokrasi, kali ini kita seolah dapat undangan ke sebuah pesta yang cuma menyajikan satu menu hidangan. Keterbatasan pilihan ini, mengurangi semangat partisipasi dan membuat pemilih merasa seakan suara mereka tidak terlalu berarti,” katanya.
Ahmad Sabiq menekankan, bahwa demokrasi seharusnya hidup dari persaingan ide dan visi. Dengan fenomena calon tunggal, suasana demokrasi menjadi sunyi dan kehilangan dinamika yang semestinya ada.
“Kita perlu bertanya, apakah ini masih bisa kita sebut sebagai pesta demokrasi?” ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara UIN Saizu Purwokerto, M Wildan Humaidi menyebut, fenomena calon tunggal di 41 daerah kabupaten/kota ini jadi bagian konsekuensi kontestasi demokrasi.
“Para kandidat tunggal tersebut harus berhadapan dengan kotak kosong. Kotak kosong harus ini harus kita pahami sebagai pilihan alternatif dalam mekanisme kontestasi demokrasi,” ujarnya.
Menurut Wildan, baik memilih calon kepada daerah ataupun memilih kotak kosong, keduanya sama-sama bagian dari demokrasi sesuai undang-undang. Oleh karena itu, pada situasi ini rakyat harus tepat dan cermat dalam menggunakan haknya.
“Ini harus kita pahami sebagai jihad sekaligus ‘ijtihad politik’ rakyat dalam menentukan nasib daerahnya lima tahun ke depan. Rakyat harus menimbang matang-matang dalam menentukan pilihannya, baik maslahat maupun mafsadatnya,” tuturnya.
Karena jika pilihan mayoritas jatuh pada kotak kosong, tentu ada konsekuensinya. Tidak hanya berkonsekuensi pada dimensi politik semata, tapi juga berdampak pada energi penyelenggara, emosi rakyat, dan pendanaannya.