SERAYUNEWS – Pemerintah telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Namun, PT GAG Nikel tetap diperbolehkan beroperasi di lahan seluas 13.136 hektare.
Langkah ini memunculkan kritik karena dinilai tidak konsisten dalam melindungi kawasan konservasi yang kaya biodiversitas tersebut. Aktivitas tambang di Pulau Gag dinilai bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perpres No. 81 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa kawasan strategis nasional Raja Ampat tidak diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan. Perpres ini mengatur penataan ruang untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dan daratan, termasuk larangan penambangan di 24 distrik yang menjadi bagian wilayah konservasi.
WALHI dan berbagai organisasi lingkungan lain menilai bahwa keberadaan tambang di pulau kecil seperti Pulau Gag membawa dampak serius, baik secara ekologis maupun sosial. Mereka mengutip sejumlah regulasi yang jelas melarang penambangan di pulau kecil karena risiko degradasi lingkungan yang tinggi.
Sejarah dan Keistimewaan PT GAG Nikel
Pemerintah menyatakan bahwa PT GAG Nikel memiliki status khusus sejak masa Orde Baru, dengan kontrak karya yang ditandatangani pada Januari 1998.
Meski UU Kehutanan tahun 1999 melarang aktivitas tambang di hutan lindung, perusahaan ini termasuk yang mendapatkan pengecualian dalam revisi regulasi pada masa Presiden Megawati.
Oleh karena itu, pencabutan IUP tidak menyentuh perusahaan tersebut. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa empat IUP yang dicabut adalah milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham.
Ia mengklaim keputusan tersebut diambil berdasarkan kajian hukum dan tidak sekadar merespons tekanan publik.
Namun, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Stj Budi Santoso, mengingatkan pentingnya pengelolaan berbasis data ilmiah dan transparansi perusahaan dalam mematuhi aturan lingkungan.
Ia juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial, apalagi Raja Ampat dikenal sebagai kawasan wisata unggulan yang terbentuk dari batuan gamping hasil proses geologi unik.
Desakan Perlindungan Penuh dan Kekhawatiran Konflik Sosial
Meski pencabutan empat IUP diapresiasi, Greenpeace Indonesia dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menuntut pemerintah mencabut seluruh izin tambang, termasuk milik PT GAG Nikel. Mereka khawatir akan adanya upaya pemulihan izin yang telah dicabut melalui jalur hukum.
Aliansi masyarakat lokal seperti Aliansi Jaga Alam Raja Ampat telah lama menolak tambang karena dianggap merusak ruang hidup dan ekosistem. Mereka mendesak pemerintah untuk memulihkan lahan yang telah dirusak, serta menghindari konflik sosial akibat keberadaan tambang.
PGI juga meminta pemerintah meninjau kembali dokumen AMDAL dan AMDAS perusahaan tambang yang masih aktif. Mereka mengingatkan bahwa pencemaran seperti kasus Sungai Jikwa di Papua jangan sampai terulang di Raja Ampat.
Pemerintah dinilai memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga kawasan yang selama ini menjadi ikon wisata alam Indonesia. Apalagi banyak area sudah rusak akibat pembabatan hutan sebelum izin mereka resmi dicabut.
Maka, pemulihan pasca tambang harus dilakukan secara cepat dan menyeluruh untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.