SERAYUNEWS – Regulasi tentang kotak kosong pada Pilkada dinilai masih abu-abu atau samar. Sehingga bisa menimbulkan multi tafsir oleh masyarakat.
Padahal dalam kode etik pemilu atau etika pemilu, di antaranya adalah penyelenggara harus menerapkan azas yang mengutamakan kepastian hukum.
Pendiri Tribhata Banyumas, Nanang Sugiri menyampaikan, dalam ilmu hukum secara umum ada dua pengertian hukum yakni hukum formil dan materiil.
Hukum formil adalah yang berkaitan tentang bagaimana tata cara pelaksanaan penegakkan hukum suatu peraturan Perundang-undangan atau hukum acara. Kemudian yang kedua adalah hukum materiil yaitu apa yang tertuang, berkaitan dengan penegakkan hukum itu sendiri.
“Dalam prinsip umum pengertian hukum materiil adalah hal-hal yang terlarang atau tidak boleh. Akan tetapi dalam prinsip umum hukum formil adalah hal hal yang tidak diperintahkan,” katanya, Jumat (04/10/2024).
Dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilukada, berkaitan dengan hukum formil di antaranya adalah berkaitan tata cara, tahapan maupun kampanye pemilu. Ini ada dalam semua peraturan perundang-undang yang mengaturnya, baik dalam UU, PKPU, PKPUD maupun dalam Pedoman teknis yang ada.
Lebih lanjut Nanang mencontohkan, dalam penyelenggaraan pemilukada adalah bagaimana membuat aturan-aturan, jadwal, tata cara kampanye. Bagaimana mekanisme alat peraga kampanye seperti baliho poster poster. Hal tersebut adalah menjadi ruang lingkup dari KPU maupun KPUD. Dan harus ada dalam hukum acara atau hukum formil penyelenggaraan pemilu atau pemilukada.
Dalam pelaksanaannya berkaitan dengan formalitas juga harus tunduk dalam hukum acara tersebut. Sebagai contoh dalam hal kampanye juga harus tunduk dalam pasal 18 dan Pasal 27 ayat 1 sampai dengan 7 PKPU Nomor 13 Tahun 2024 maupun dalam Pedoman Teknisnya.
“Pemasangan baliho kolom kosong, pemasangan banner itu sendiri tidak diatur, maka mengacu pada prinsip hukum formil hal itu tidak dapat dilakukan,” ujarnya.
Dalam prinsip hukum formil atau hukum acara, jelas memerlukan suatu kepastian hukum dan tidak boleh ada penafsiran. Oleh karena itu, apa yang tidak ada dalam ketentuan dalam hukum acara, berarti tidak boleh.
Menurutnya, KPU sebagai penyelenggara pemilu di daerah mestinya menyelenggaran forum-forum terlebih dahulu atau mensosialisasikan pemahaman. Khususnya mengenai peraturan-peraturan oleh KPUD, sehingga pemahaman hukum secara formil maupun materiil dapat tersampaikan secara luas.
Dalam undang-undang yang berkaitan dengan pemilukada khususnya, secara filosofi tujuan pemilu bukan untuk membuat atau menjadikan kotak kosong sebagai pemenang. Selaib itu juga tidak memposisikannya sebagai kompetitor dari pasangan calon yang ada.
Mengkampanyekan kolom kosong dengan memasang baliho-baliho maupun reklame dan poster, masuk ranah hukum acara atau masuk dalam ranah hukum formil Penyelenggaran Pemilukada.
Maka hal tersebut, harus ada tata caranya baik tata cara dalam undang-undang, PKPU, PKPUD maupun dalam pedoman teknis yang ada.
Pemasangan baliho, reklame maupun spanduk yang mengkampanyekan kotak kosong adalah jelas bertentangan dengan hukum formil atau hukum acara penyelenggaraan Pemilukada.
“Mengacu pada prinsip umum pengertian hukum formil, artinya apa yang tidak di perintahkan berarti tidak boleh dilakukan. Maka seharusnya KPUD Banyumas, menolak tindakan-tindakan tersebut. Pemasangan baliho-baliho, reklame, spanduk maupun poster ketika tidak sesuai dengan mekanisme adalah tindakan ilegal dan KPUD dapat melakukan tindakan pencopotan,” kata dia.
Nanang menambahkan, sikap diam dari penyelenggara pemilu dapat dikatakan sebagai pelanggaran etika pemilu. Dalam hal tidak melaksanakan azas kepastian hukum sebagaimana diatur dan dimaksud dalam pasal 11 peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 dan dari sisi atau ranah Hukum Tata Usaha Negara (TUN). Patut diduga telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh penguasa dalam ini penyelenggara pemilu atau Onrechmatige Overheidsdaad.