SERAYUNEWS – Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memiliki kekayaan budaya yang terus dilestarikan oleh masyarakatnya.
Salah satu tradisi sakral yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadhan adalah Perlon Unggahan Bonokeling.
Upacara adat ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan Bonokeling sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima, terutama dalam sektor pertanian dan hasil bumi.
Perlon Unggahan Bonokeling merupakan tradisi penyambutan bulan Ramadhan yang dilaksanakan oleh Anak Putu Bonokeling pada Jumat terakhir bulan Sadran.
Ritual utama dalam tradisi ini adalah ziarah dan pembersihan makam leluhur Bonokeling, yang hanya boleh diikuti oleh keturunan langsung.
Anak Putu Bonokeling tersebar di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap. Dalam pelaksanaan tradisi ini, mereka berkumpul di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang.
Anak Putu dari wilayah Cilacap bahkan melakukan perjalanan kaki menuju desa tersebut, membawa hasil bumi sebagai simbol napak tilas perjuangan leluhur dalam menyebarkan ajaran Bonokeling.
Setibanya di Pekuncen, mereka disambut oleh Anak Putu yang bermukim di sana, menandakan persatuan dan kebersamaan dalam menjaga adat yang diwariskan.
Setelah seluruh Anak Putu Bonokeling berkumpul, mereka menjalani prosesi Pisowanan, yaitu pertemuan dengan juru kunci makam Bonokeling serta para sesepuh keturunan Kyai Bonokeling di Bale Agung.
Ritual ini dilanjutkan dengan Muji, atau dzikir bersama, sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selama prosesi Muji, seluruh peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat berupa baju hitam, kain jarit, serta ikat kepala. Selain itu, mereka tidak diperbolehkan memakai alas kaki sebagai simbol kesederhanaan dan penghormatan.
Acara ini berlangsung dari malam hingga dini hari, menciptakan suasana yang penuh kekhidmatan dan spiritualitas.
Pada Jumat pagi, para laki-laki Anak Putu Bonokeling melaksanakan tradisi masak besar. Mereka bersama-sama memasak makanan dengan menyembelih sapi, kambing, dan puluhan ekor ayam yang seluruhnya berasal dari swadaya masyarakat Anak Putu Bonokeling.
Setelah prosesi memasak selesai, ritual ziarah makam leluhur dilakukan. Masyarakat luar tidak diperbolehkan memasuki area makam, dan jika ada yang melanggar, mereka dapat dikenai hukum adat.
Ziarah ini diawali oleh barisan ratusan perempuan keturunan Bonokeling yang mengenakan kemben dan selendang putih berbahan kain lawon. Mereka berjalan dengan tertib menuju gerbang makam, lalu membasuh tangan, kaki, dan wajah sambil mengucapkan doa dan mantra sebagai bentuk penghormatan.
Dalam kepercayaan Bonokeling, perempuan dianggap sebagai perwujudan ibu bumi yang melahirkan generasi penerus ajaran Bonokeling. Oleh karena itu, mereka mendapat kehormatan untuk terlebih dahulu melakukan ziarah.
Para pria menyusul sore harinya, membawa makanan yang telah dimasak pagi sebelumnya ke dalam area makam.
Tradisi Perlon Unggahan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga menjadi pedoman hidup bagi penganut ajaran Bonokeling. Lima ajaran utama dalam kepercayaan ini meliputi:
Perlon Unggahan Bonokeling bukan hanya sebuah ritual adat, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Kasepuhan Bonokeling.
Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan spiritual antarwarga, sekaligus menjadi daya tarik bagi wisatawan dan peneliti yang ingin mempelajari kearifan lokal di Banyumas.
Dengan menjaga dan melestarikan upacara ini, masyarakat Bonokeling membuktikan bahwa adat dan budaya bukan sekadar warisan, tetapi juga pedoman hidup yang menghubungkan manusia dengan alam dan spiritualitasnya.
Tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai leluhur tetap relevan dan mampu bertahan di tengah arus modernisasi.***