SERAYUNEWS – Seorang anggota tim pengamanan protokoler Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) diduga melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Kejadian tak mengenakkan ini terjadi saat peliputan di Stasiun Tawang, Kota Semarang, pada Sabtu, 5 April 2025.
Peristiwa tersebut tidak hanya mengejutkan publik, tapi juga menimbulkan berbagai pertanyaan, termasuk tentang siapa sebenarnya sosok Ipda Endri Purwa Sefa.
Dalam kunjungannya untuk meninjau arus balik Lebaran di Stasiun Tawang, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat menyapa seorang penumpang yang menggunakan kursi roda.
Sejumlah jurnalis dari berbagai media, bersama tim Humas, turut hadir untuk meliput momen tersebut.
Situasi awalnya berjalan kondusif, hingga seorang anggota pengamanan protokoler bernama Ipda Endri Purwa Sefa meminta jurnalis untuk mundur.
Namun, permintaan itu disampaikan dengan nada tinggi, bahkan disertai dorongan fisik.
Seorang jurnalis foto dari Kantor Berita Antara, Makna Zaezar, yang merasa situasi mulai tidak nyaman, memutuskan menjauh dan berpindah ke area peron.
Tak disangka, Ipda Endri justru mengejar dan memukul kepala Makna dengan tangan kosong.
Aksi tersebut tidak berhenti di situ. Beberapa jurnalis lainnya juga melaporkan mengalami kekerasan serupa, seperti dorongan dan ancaman verbal. Bahkan, seorang jurnalis perempuan nyaris dicekik.
Ipda Endri disebut sempat mengeluarkan ancaman keras terhadap para jurnalis dengan berkata, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.”
Ucapan tersebut sontak memicu kemarahan dari komunitas jurnalis dan publik secara luas.
Setelah insiden ini, nama Ipda Endri Purwa Sefa langsung jadi perhatian publik. Banyak orang penasaran dengan latar belakang dan profil lengkapnya, termasuk asal daerah dan tahun kelulusannya dari Akademi Kepolisian (Akpol).
Dari informasi yang beredar, Ipda Endri adalah anggota tim pengamanan protokoler Mabes Polri yang bertugas mengawal jalur kunjungan Kapolri.
Meski sempat disebut sebagai ajudan pribadi Kapolri, pernyataan ini dibantah oleh Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto.
Ia menegaskan bahwa Ipda Endri bukan ajudan pribadi, melainkan bagian dari tim pengamanan protokoler resmi.
Sayangnya, hingga kini belum ada informasi publik mengenai tahun kelulusan Ipda Endri dari Akpol maupun akun media sosial pribadinya.
Meski demikian, pencarian terkait akun Instagram-nya menjadi topik yang ramai dibicarakan di media sosial.
Menanggapi kejadian tersebut, pihak Mabes Polri, bersama Ipda Endri dan jajaran Polda Jawa Tengah, bergerak cepat dengan mendatangi Kantor Berita Antara di Semarang.
Dalam kesempatan itu, Ipda Endri menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada Makna Zaezar dan seluruh awak media.
Ia mengakui kesalahannya dan berharap peristiwa seperti ini tidak terulang kembali.
“Saya menyesal dan menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian di Stasiun Tawang,” ucapnya.
Direktur Pemberitaan LKBN Antara, Irfan Junaidi, mengaku sangat menyayangkan insiden ini.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng menyampaikan bahwa kasus ini masih dalam proses pendalaman. Bila ditemukan adanya pelanggaran prosedur atau kode etik, maka sanksi internal akan dijatuhkan sesuai aturan yang berlaku.
Insiden ini memicu reaksi keras dari berbagai organisasi profesi jurnalis. Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras tindakan kekerasan tersebut.
Mereka menilai tindakan itu sebagai bentuk penghalangan kerja jurnalistik, yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 18 Ayat 1 dalam UU tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik bisa dikenakan sanksi pidana.
AJI Semarang juga menuntut agar kepolisian memberikan sanksi tegas kepada pelaku, sekaligus memperkuat pelatihan etika serta pendekatan komunikasi untuk personel yang bertugas di lapangan.
Insiden kekerasan terhadap jurnalis di Stasiun Tawang bukan hanya persoalan teknis pengamanan, melainkan menyentuh aspek penting dalam demokrasi: kebebasan pers.
Kini, sosok Ipda Endri Purwa Sefa menjadi sorotan bukan karena prestasinya, tetapi karena tindakannya yang dinilai mencederai semangat keterbukaan informasi publik.***