SERAYUNEWS – Awal puasa Ramadhan 2025 atau Tahun 1446 H diperkirakan akan dimulai serentak oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Hal ini karena metode rukyatul hilal dan hisab (wujudul hilal) diprediksi menghasilkan kesimpulan yang sama.
Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Ahmad Muttaqin, menyebutkan bahwa pelaksanaan awal puasa Ramadhan 1446 H diprediksi serentak.
Namun, di beberapa daerah di Jawa terdapat kelompok Muslim yang memiliki metode penentuan awal Ramadhan yang berbeda, salah satunya adalah Komunitas Aboge.
Dia menjelaskan bahwa Kelompok Muslim Aboge memiliki sistem kalender berbasis siklus delapan tahunan yang terus berulang secara konstan.
Perhitungan ini didasarkan pada rumus baku yang berlaku hingga 120 tahun, sehingga penetapan awal bulan, termasuk Ramadhan, dapat ditentukan dengan pasti.
Pada tahun 1446 H atau 2025 M, kalender Jawa masuk dalam tahun Za/Je.
Berdasarkan rumus tradisional “Zasahing”, tanggal 1 Sura (Muharram) jatuh pada Selasa Pahing.
Adapun awal Ramadhan ditetapkan dengan rumus “Sanemro”, yang berarti hari keenam dan pasaran kedua dalam siklus kalender Jawa.
Dengan demikian, kelompok Aboge menetapkan awal puasa Ramadhan 1446 H pada Ahad Pon, bertepatan dengan 2 Maret 2025.
Sementara itu, Hari Raya Idul Fitri 1446 H jatuh pada Selasa Pon, atau 1 April 2025, sesuai dengan rumus “Waljiro”.
Dr. Ahmad Muttaqin menjelaskan bahwa Kalender Jawa-Islam merupakan salah satu warisan budaya yang mencerminkan proses akulturasi Islam dengan tradisi lokal.
Sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa menggunakan sistem kalender Saka yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha India.
Kedatangan Islam tidak serta-merta menghapus kebudayaan yang telah mengakar, melainkan beradaptasi dan berintegrasi dengan budaya yang sudah ada.
Salah satu tokoh penting dalam integrasi kalender ini adalah Sultan Agung dari Kesultanan Mataram.
Pada abad ke-17, ia menciptakan Kalender Jawa-Islam yang menggabungkan sistem penanggalan Saka dengan Hijriah.
Integrasi ini memastikan bahwa Islam tetap berkembang tanpa menghilangkan identitas budaya Jawa.
Berbagai tradisi keagamaan seperti Sekaten, Grebeg Sura, dan Grebeg Maulud menjadi bukti nyata perpaduan antara agama dan budaya.
Sejarah menunjukkan bahwa agama dan budaya tidak harus dipertentangkan.
Sebaliknya, melalui komunikasi dan interaksi yang berkelanjutan, keduanya dapat saling menguatkan.
Islam sebagai ajaran universal dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk kebudayaan tanpa kehilangan esensinya.
“Tradisi kalender Jawa yang digunakan oleh komunitas Aboge menjadi salah satu contoh bagaimana Islam dapat berkembang secara harmonis dalam konteks budaya lokal,” tulis artikel yang ditulis Wakil Dekan I Fakultas Dakwah UIN Saizu Purwokerto tersebut.
Dengan memahami sistem kalender Aboge dan sejarah integrasi Islam di Jawa, kita dapat melihat bagaimana kearifan lokal tetap dilestarikan tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman.
Tradisi ini bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga bagian dari dinamika keberagamaan di Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya dan keyakinan.***