SERAYUNEWS-Istilah Ro’an bagi kalangan santri bukanlah hal asing, bagi para santri, Ro’an adalah sebuah tradisi gotong-royong dan kerja bakti bersama untuk membersihkan dan merawat lingkungan pesantren.
Tradisi ini tidak hanya sekadar kegiatan kerja bakti biasa, tetapi bagi para santri yang pernah tinggal di Pondok Pesantren, istilah ini memiliki filosofi yang mendalam. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai seperti kebersihan, persaudaraan (ukhuwah), tanggung jawab, keikhlasan, dan solidaritas.
Melalui Ro’an, para santri praktik langsung dalam kebersamaan, seperti membersihkan kamar, taman, hingga membantu proyek pembangunan. Pelaksanaannya, Ro’an biasanya dilakukan secara rutin, seperti harian (piket kamar) dan mingguan atau massal (ro’an akbar), yang seringkali dilakukan pada hari Jumat.
Keterlibatan santri dalam membantu proyek pembangunan belakangan menjadi viral karena dianggap sebagai ‘perbudakan’. Padahal, bagi para santri, ikut terlibat dalam pembangunan pesantren adalah panggilan jiwa sekaligus sebagai sebuah kebanggaan.
Secara fisik, ro’an menjadi satu sarana bagi para santri untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan pesantren, mulai dari kamar santri, lingkungan, hingga area umum yang ada di sekitar pesantren, termasuk jalan menuju kompleks pesantren itu sendiri.
Selain itu, para santri sering memaknasi ro’an sebagai satu sarana ibadah, sebab melalui kegiatan ini, para santri diingatkan untuk selalu menjaga kebersihan sesuai dengan ajuran agama yang menyebutkan ‘Kebersihan sebagian dari iman’. Para santri ini juga menjadikan ro’an sebagai sarana untuk mengusir kesombongan, dimana setiap sapuan dapat menjadi zikir untuk selalu ingat pada sang pencipta.
Bagi para santri, ro’an juga menjadi satu kegiatan untuk menanamkan sifat sabar, ikhlas, tanggung jawab, dan mandiri. Santri belajar bekerja sama dan menekan ego pribadi demi kepentingan bersama. Ro’an juga dilakukan untuk mempererat persaudaraan, sebagai wujud nyata dari gotong royong dan ukhuwah (persaudaraan). Kegiatan ini menyatukan santri dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial menjadi satu tim yang solid.
Kegiatan ini juga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam merawat pesantren, sebab para santri merasa memiliki tempat tersebut. Lingkungan yang bersih membuat mereka lebih nyaman belajar dan tumbuh rasa memiliki yang kuat.
Hal ini juga dapat mendidik santri secara ekologis, melalui praktik langsung, santri belajar secara alami untuk menjaga kebersihan dan kepedulian terhadap lingkungan tanpa harus diajari teori secara formal.
Hal tersebut tentu tidak akan didapatkan di pendidikan lain, sebab pendidikan di pesantren menempatkan kegiatan keilmuan dan pengabdian sosial dalam satu kesatuan yang integratif. Santri dididik agar memahami ilmu agama secara mendalam, sekaligus mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman itu dalam bentuk kepedulian sosial dan kontribusi nyata di lingkungan sekitarnya.
Ro’an atau kerja bersama menjadi bentuk nyata dari ukhuwah (persaudaraan) dan ta’awun (kerja sama) yang melahirkan rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial yang tinggi. Bagi para santri yang berada di pondok pesantren, kegiatan seperti ngecor, membersihkan lingkungan, memperbaiki bangunan, atau membantu tetangga, bukanlah pekerjaan kasar yang menurunkan martabat santri. Sebaliknya, itu adalah madrasah kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai luhur Islam seperti keikhlasan, disiplin, dan kebersamaan.
Dunia pesantren mengenal istilah, “Man lam yakhdim lam yafham”, Barang siapa tidak pernah berkhidmah, maka ia tidak akan memahami (ilmu) dengan sempurna. Artinya, ilmu tidak hanya dicapai melalui pengajaran (ta‘lim), tetapi juga melalui pengabdian (khidmah). Dalam tradisi ini, mengabdi kepada pondok dan masyarakat adalah bagian dari proses pencarian ilmu itu sendiri.
Dari sinilah pesantren menumbuhkan generasi santri yang berilmu dalam agama, berdaya dalam kehidupan sosial, dan memiliki kemandirian dalam menjalani peran-peran kemasyarakatan. Di berbagai daerah, santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi santri juga diajarkan keterampilan praktis seperti menyervis motor, memperbaiki alat-alat pertanian, bertani, atau membangun rumah.
Semua keterampilan ini dilakukan untuk melatih para santri agar mampu berkiprah di tengah masyarakat dengan bekal kemandirian. Pendidikan di pesantren pada hakikatnya adalah pendidikan integral, yakni menggabungkan aspek keilmuan, moralitas, dan keterampilan hidup (life skills).