
SERAYUNEWS – Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN) Anas Urbaningrum menilai, keputusan MK menghapus presidential threshold 20 persen dalam Pilpres, perlu diikuti dengan kebijakan serupa untuk Pilkada.
Menurutnya, keadilan politik akan lebih terasa jika baik Pilpres maupun Pilkada sama-sama menerapkan ambang batas pencalonan 0 persen.
Anas menjelaskan, dengan putusan MK yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu inkonstitusional, maka seluruh partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
“MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya threshold Pilpres itu 0 persen. Kalau mau paralel antara politik nasional dan politik lokal, Pilkada juga seharusnya 0 persen,” ujar Anas saat berkunjung ke Banyumas, belum lama ini.
Dengan sistem threshold 0 persen, satu partai politik saja di daerah sudah cukup untuk mengusung calon kepala daerah tanpa harus berkoalisi.
Ia menilai sistem ini akan membuka ruang kompetisi yang lebih sehat dan memungkinkan munculnya calon berkualitas yang selama ini terhambat oleh ambang batas tinggi.
“Kalau threshold 10 persen atau 7,5 persen, bisa saja calon yang bagus justru tidak bisa berangkat karena dikunci. Dengan nol persen, soal menang atau kalah itu urusan rakyat,” tegasnya.
Anas juga menyebut, penghapusan ambang batas akan mengurangi fenomena kotak kosong seperti yang sempat terjadi dalam sejumlah Pilkada 2024.
Ia menilai sistem yang terlalu membatasi pencalonan hanya akan mengurangi pilihan rakyat dan menghambat regenerasi kepemimpinan daerah.
“Pilkada seharusnya jadi ruang terbuka bagi rakyat untuk memilih. Kalau threshold tinggi, justru mengerdilkan demokrasi lokal,” tambahnya.
Selain isu ambang batas, Anas menyoroti wacana pengembalian mekanisme Pilkada melalui DPRD yang kembali mencuat di tingkat nasional.
Ia menilai, evaluasi terhadap sistem Pilkada langsung memang perlu, namun harus dilakukan secara objektif dan proporsional.
“Sekarang kita di persimpangan jalan. Ada partai besar yang cenderung mendorong agar Pilkada dikembalikan lewat DPRD. Tapi soal biaya politik tinggi itu bukan karena sistemnya, melainkan perilaku elit dan budaya politik uang,” kata Anas.
Menurutnya, sistem apapun tetap rawan praktik politik uang (money politics) jika akar masalahnya tidak diberantas.
“Kalau soal adu amplop, mau langsung atau tidak langsung tetap bisa terjadi. Yang beda hanya lokasi amplopnya. Jadi bukan mekanismenya yang salah,” ujarnya setengah berseloroh.
Lebih lanjut, Anas mendorong negara untuk menindak tegas mahar politik dalam proses pencalonan kepala daerah.
Ia menyebut, jika pemerintah serius ingin menekan biaya politik, maka regulasi harus diperkuat dan penegakan hukumnya konsisten.
“Kalau mau menurunkan biaya politik, larang mahar politik dan perkuat penindakan terhadap praktik politik uang. Itu baru reformasi Pilkada yang sejati,” tutupnya.