SERAYUNEWS- Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. Tri Wuryaningsih mengungkap ketimpangan gender masih menjadi momok serius di Indonesia.
Berbagai data resmi seperti Perempuan dan Laki-laki di Indonesia 2024 (BPS), Profil Perempuan Indonesia 2023 (Kementerian PPPA RI).
Hingga Indeks Ketimpangan Gender 2023 (BPS), mengungkap perempuan masih tertinggal dalam banyak aspek kehidupan.
Baik secara ekonomi, sosial, politik, kesehatan, bahkan teknologi informasi.
Ketertinggalan ini menciptakan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki, yang pada akhirnya membuat posisi tawar mereka menjadi lemah.
Dr. Tri Wuryaningsih menyebut kondisi ini sebagai akar dari ketidakadilan gender yang sistemik.
“Kesenjangan gender ini menyebabkan perempuan bergantung pada laki-laki. Tidak mandiri, dan tidak memiliki posisi tawar baik di dalam keluarga maupun masyarakat,” jelas keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 22 April 2025.
Dia menjelaskan, ketika perempuan tidak memiliki kemandirian, mereka rentan mengalami subordinasi, marginalisasi, stereotip negatif, beban ganda, hingga kekerasan dalam berbagai bentuk.
Fakta di lapangan pun memperkuat pernyataan tersebut. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2024, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 9,77% dari tahun sebelumnya.
Jenis kekerasan seksual tercatat paling tinggi, diikuti kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.
Dia menggarisbawahi pentingnya memberdayakan perempuan untuk memutus rantai kekerasan. Ia merujuk pada The Women’s Empowerment Framework dari Longwe (1995) yang menekankan lima tingkatan pemberdayaan perempuan.
“Perempuan yang berdaya akan mampu mengambil keputusan yang berdampak bagi diri dan lingkungannya. Di sinilah letak pentingnya kemandirian,” ujar Dr. Tri.
Menurut Dr. Tri Wuryaningsih, kemandirian perempuan bukan berarti lepas dari nilai dan norma sosial, melainkan kemampuan menyeimbangkan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial.
Tiga bentuk kemandirian yang penting:
Dalam perspektif Islam, perempuan memiliki kedudukan setara dalam mengakses pendidikan, politik, ekonomi, hingga dakwah.
Sejarah mencatat nama-nama perempuan tangguh seperti Khadijah, pebisnis andal dan istri Rasulullah, serta Aisyah, sosok cerdas dan perawi hadist terkemuka.
Dr. Tri menegaskan bahwa mewujudkan kemandirian perempuan tidak bisa dilakukan secara individual. Butuh kesadaran kolektif dan dukungan lintas sektor untuk menciptakan masyarakat yang adil dan bebas dari dominasi gender.
“Kita perlu mengubah sistem, bukan hanya individunya. Karena perempuan yang mandiri adalah kunci masyarakat yang kuat,” pungkasnya.