SERAYUNEWS – Tiap jelang pemilu selalu ramai soal hasil survey. Hampir tiap minggu muncul hasil survey dari berbagai lembaga survey dengan hasil yang beraneka ragam.
Dalam kasus pemilihan presiden, tiga kandidat selalu muncul sebagai tiga besar, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Sejak April lalu, urutan teratas selalu ditempati oleh Prabowo Subianto. Sebelum April, Ganjar Pranowo selalu ada di urutan teratas.
Tapi setelah PDIP resmi mendeklarasikan Ganjar sebagai calon presiden, posisi Ganjar di pole position disalip oleh Prabowo.
Anies Baswedan sejak awal memang tidak pernah sekalipun muncul pada posisi teratas. Ia selalu konsisten di urutan ketiga.
Malah sekarang posisi Anies terus melorot karena elektabilitasnya mandek atau turun.
Debat mengenai akurasi hasil survey ramai beberapa waktu belakangan ini. Banyak yang meragukan hasil survey dan menganggapnya sebagai pesanan.
Muhaimin Iskandar, Ketua PKB, mengakui bahwa ada survey pesanan. Ada pihak yang memesan survey dan menginginkan hasil sesuai dengan kemauannya.
Di Indonesia lembaga survei menjadi bagian dari euforia politik seiring dengan lahirnya reformasi setelah kejatuhan Orde Baru 1998.
Di Amerika Serikat tradisi survei sudah marak sejak awal 1930-an ketika Robert Gallup mendirikan lembaga survei pertama. Sampai sekarang Gallup Poll menjadi lembaga survei terpercaya, terbesar, dan tertua di Amerika.
Survei capres pertama di Amerika dilakukan pada 1824. Hasilnya menunjukkan capres Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams.
Ternyata hasil pemilu sesuai dengan prediksi survei. Sejak itulah survei menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses politik Amerika.
Pada pilpres 1916, majalah Literary Digest turut melakukan survei nasional untuk melihat siapa capres yang akan terpilih. Hasil survei menujukkan bahwa Woodrow Wilson lebih unggul dari pesaingnya.
Ternyata hasil pilpres sesuai dengan prediksi survei. Pada pemilu berikutnya, majalah itu juga berhasil memprediksi kemenangan Warren Harding pada 1920, Calvin Coolidge pada 1924, Herbert Hoover pada 1928, dan Franklin Roosevelt pada 1932.
Ketika itu metode yang dipakai masih tradisional. Jutaan kartu pos dikirim secara manual kepada partisipan. Namun cara ini dinilai boros dan persebaran respondennya tidak merata.
Selain itu, survei juga menunjukkan adanya bias dari partisipasi. Hal ini terbukti pada survei capres 1936. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa Alf Landon akan memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat. Namun ternyata petahana Roosevelt yang terpilih kembali.
Peneliti George Gallup menemukan bahwa partisipan yang menyukai Landon lebih antusias mengembalikan kartu pos mereka. Sehingga Landon menang dalam jajak pendapat prediksi preferensi presiden kala itu.
Setelah menemukan adanya kejanggalan dalam survei majalah Literary Digest, Gallup kemudian membuat metode surveinya sendiri. Metode yang dibuat Gallup ini menggantikan cara survei majalah Literary Digest yang dinilai naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata itu.
Di Indonesia survei capres tidak pernah diadakan selama periode pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Lembaga survei untuk menghimpun jajak pendapat terkait politik lazimnya lahir di negara demokratis dan rakyat memiliki kebebasan sipil dan politik yang substansial.
Inilah yang menjadi alasan mengapa di era sebelum reformasi, survei jajak pendapat tidak pernah diadakan.
Peneliti Australia Marcus Mietzner yang menulis artikel jurnal “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” mengatakan bahwa jajak pendapat di dalam pemerintahan otoriter dianggap mencerminkan atau bahkan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat.
Alasan lain, survei jajak pendapat terkait capres membutuhkan metodologi yang dirancang secara saksama, peneliti yang berpengalaman, serta responden dalam jumlah besar.
Bagi Indonesia yang masih berkembang, survei capres membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga wajar bila survei terkait calon presiden belum dilakukan di masa-masa pra reformasi.
Survei capres berupa jajak pendapat politik mulai terselenggara secara semi-profesional setelah Soeharto lengser. Survei diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Para peneliti di LP3ES sudah tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan kuantitatif.
Pada pemilu terakhir Orde Baru pada 1997 lembaga itu telah mengadakan survei hitung cepat untuk kawasan Jakarta. LP3ES juga pernah menyelenggarakan survei pada pemilihan legislatif 1999, di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Survei capres di Indonesia pertama kali dilakukan menjelang pemilu 2004. Berbagai lembaga survei kala itu menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat presiden.
Prediksi itu benar. SBY terbukti menang pemilu presiden 2004 dengan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran berikutnya.
Di Indonesia tradisi survei masih seumur jagung, tetapi perannya sudah sangat besar dalam memengaruhi keputusan politik. Nyaris tidak ada politisi yang berani maju untuk merebut jabatan eksekutif maupun legislatif yang tidak mempergunakan lembaga survei. Bisa disebut bahwa lembaga survei adalah keniscayaan bagi politisi yang hendak maju berkontestasi.
Lembaga survei sudah menjadi industri tersendiri dengan putaran uang triliunan rupiah. Para surveyor itu sekaligus menjadi konsultan politik yang menawarkan paket komplet dengan harga yang tinggi. Karena itu lembaga-lembaga survei menjadi perusahaan besar dengan omset besar dan pengusahanya menjadi orang-orang tajir.
Seiring dengan itu mulai muncul distrust dari sekalangan masyarakat yang tidak sepenuhnya percaya terhadap hasil survei yang dipublikasikan. Para pengusaha survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik yang mempunyai target politik tersendiri.
Itulah yang sekarang terjadi. Lembaga survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik untuk memenangkan calon tertentu. Lembaga survei sudah menjadi bagian dari tim sukses, dan hasil survei disesuaikan dengan pesanan pembayar.*** (Dhimam Abror Djuraid)