Purbalingga, serayunews.com
Kuda Lumping atau Ebeg merupakan kebudayaan Jawa Tengah, lebih khusus lagi di wilayah Karsidenan Banyumas. Meskipun di wilayah Jawa bagian lain, ada juga kesenian serupa yaitu Jatilan.
Namun, Ebeg sangat kental dengan Tanah Ngapak. Termasuk di antaranya di Kabupaten Purbalingga. Ebeg berasal dari kata Ebeg atau ayaman bambu. Media yang dipakai penari, berupa ayaman bambu yang berbentuk kuda, dikasih ornamen rambut. Umumnya, tarian ini dimainkan secara berkelompok.
Sebab, diyakini Ebeg merupakan tarian dari rakyat jelata sebagai bentuk dukungan kepada para prajurit berkuda Pangeran Diponegoro, saat melawan penjajah. Jadi, kesenian Ebeg memang sudah ada sejak dahulu kala.
“Bahkan sejak era kepercayaan, memang warisan leluhur,” kata Ketua Paguyuban Keluarga Ebeg Purbalingga (Paku Beling), Teguh Purwanto, Sabtu (28/01/2023).
Sebagai warisan budaya, Ebeg perlu dilestarikan keberadaanya. Meski zaman sudah modern, gempuran globalisasi saat ini, eksistensi Ebeg di Purbalingga masih terjaga. Bahkan, bisa dikatakan pemain dan penikmatnya semakin bertambah.
“Bisa dikatakan, dulu Ebeg itu budaya rakyat jelata, menengah ke bawah, sekarang sudah ada kalangan atas yang menikmatinya,” ujarnya.
Hanya saja, lanjut Teguh, ada fragmen-fragmen yang bergeser. Jika Ebeg dahulu itu sangat sakral, karena sangat kental dengan unsur mistis. Bahkan sebelum pada pertunjukannya, para penari dan seluruh bagian mulai dari sinden, penabuh musik, harus menjalani ritual.
“Jadi ada sedikit perbedaan, Ebeg dulu itu sangat kental dengan unsur mistis. Bahkan sebelum hari H tampil, itu sudah sowan ke punden-punden, sudah tirakat, sajen wajib 36 jenis, dan lainnya. Kalau sekarang masih ada, tapi tidak semua,” kata dia.
Perubahan memang sebuah keniscayaan. Tak bisa dipungkiri kondisi dan zaman sudah berbeda. Perilaku prihatin itu, sangat penting dilakukan orang zaman dulu, berbeda dengan kehidupan modern seperti saat ini yang penuh kemudahan fasilitas.
“Dulu Ebeg itu lebih ke acara-acara khusus seperti penolak bala, ketika akan membuka lahan baru untuk pertanian, untuk pemukiman dan lainnya. Kalau sekarang lebih untuk pertunjukan,” katanya.
Saat ini, Ebeg tak kesulitan beregenerasi baik itu penarinya, penabuh alat musik, sampai sinden.
Di Kabupaten Purbalingga, ada ratusan grup kesenian Ebeg. Bisa dikatakan hampir setiap desa ada. Sedangkan untuk pertunjukan, sering diselenggarakan misalnya tanggapan dari warga ketika memiliki hajatan.
“Ada sekitar 300 grup yang terdata di paguyuban. Tampil pada hajatan warga, pada acara hari besar, perayaan-perayaan sering nanggap Ebeg. Ebeg itu kesenian yang masih jadi nadzar bagi orang,” kata Teguh.
Tak hanya dari masyarakat semata, Pemkab Purbalingga juga memberikan dukungan pada kesenian Ebeg. Satu di antaranya adalah dengan melaksanakan lomba Ebeg piala bupati.
Sekitar tiga tahun lalu, juga diselenggarakan Kongres Ebeg. Dimana pada acara tersebut dilangsungkan mendem massal oleh 400 penari Ebeg, secara serentak di satu lokasi.
Pada kesempatan itu, Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi merencanakan untuk digelar rutin tahunan. Bahkan, Penampilan Ebeg ini akan dijadikan kegiatan tahunan dan dijadikan salah satu atraksi wisata budaya dan pariwisata di Purbalingga.