SERAYUNEWS – Buah pepaya atau dalam bahasa Jawa Banyumasan akrab dengan sebutan gandul, tidak hanya bisa dinikmati ketika sudah matang. Bagi masyarakat Banyumas, pepaya muda biasa di olah menjadi oseng atau tumisan untuk menjadi lauk makan nasi.
Pada momen tertentu, sayur pepaya muda atau Wong Mbanyumas menyebutnya jangan gandul ini, punya makna filosofis. Membuat jangan gandul bagi warga lereng selatan Gunung Slamet, merupakan suatu tradisi ketika Gunung Slamet mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.
“Ini sudah sejak para leluhur, menjadi turun temurun ketika Gunung Slamet naik statusnya. Warga Banyumas khususnya Baturraden, itu pasti memasak jangan gandul,” kata Ketua Adat Kewargian Lembah Wangi, Baturraden, Mbah Nur Sanjaya, Senin (06/11/2023).
Membuat jangan gandul saat Gunung Slamet naik status ini, di yakini bisa mencegah atau untuk menghambat agar tidak sampai terjadi erupsi besar dan merugikan masyarakat. Jangan gandul menjadi media perantara, dalam memanjatkan doa kepada yang Kuasa.
Gandul itu mengandung arti gandulan (menggantung, menahan). Begitu juga dalam posisi di pohon, buah gandul juga menggantung. Ketika aktivitas vulkanik Gunung Slamet naik, maka perlu di tahan agar tidak terus meninggi dan terjadi erupsi.
“Gandulan artinya menahan agar aktivitas Gunung Slamet tidak terus naik, dan terjadi musibah bagi masyarakat Banyumas. Sehingga tertahan dan statusnya tetap waspada, tidak sampai siaga atau awas,” katanya.
Pohon pepaya di wilayah lereng selatan Gunung Slamet, sangat mudah tumbuh di pekarangan. Selain mudah, secara harga juga termasuk ekonomis.
Pesannya, masyarakat di harapkan bisa bertahan dengan kondisi yang sederhana atau prihatin ketika terjadi musibah.
Buah muda dan daunnya, juga baik untuk kesehatan. Kandungan nutrisi dan segala manfaat lainnya, harapannya menjadikan masyarakat kuat untuk bertahan hidup.
“Memasak jangan gandul bersama-sama mengandung pesan, doa, serta harapan dari masyarakat,” katanya.
Mbah Jaya menambahkan, selain tradisi memasak jangan gandul, masyarakat Banyumas juga memiliki tradisi membuat kupat berisi nasi dan selembar daun salam.
Kupat tersebut di taruh dengan posisi menggantung di atas pintu, untuk tolak bala dan harapannya bisa terhindar dari kemurkaan erupsi Gunung Slamet.