Kebanyakan orang mengira, tomcat merupakan termasuk serangga keluarga semut. Namun, ternyata tomcat termasuk dalam keluarga besar kumbang dengan berbagai jenis. Di Indonesia sendiri paling banyak jenis tomcat, Paederus Fuscipes.
“Tomcat itu bukan semut, termasuknya kumbang, di Malaysia memang disebut semut semai atau semut rayap. Kalau di Indonesia itu kumbang penjelajah atau pengembara, jadi berbeda kalau semut itu kan ordonya hymonoptera, jadi satu keluarga sama lebah. Kalau tomcat ini biasanya jenisnya paederus, familia staphylinidae ordo coleoptera,” kata Kepala Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Biologi Unsoed, Dr Trisnowati Budi Ambarningrum MSi kepada Serayunews.com, Selasa (24/11).
Dia menyebut, di Indonesia jenis yang paling banyak yakni paederus fuscipes. Dimana kumbang itu pada dasarnya tidak menggigit atau tidak menyengat. Sedangkan manusia yang sampai terkena racunnya, karena tidak sengaja membunuh.
“Terkadang itu kan serangga ini hinggap di baju atau handuk, tanpa sengaja tergesek sama tubuh kita, akhirnya mengeluarkan racun panderin dimana terdapat di cairan hemolimfe tomcat,” ujarnya.
Racun tersebut pengaruh pada kulit kita, dimana menyebabkan iritasi, hingga mengalami seperti luka bakar dan hampir mirip penyakit kulit herpes.
“Berbeda dengan herpes, lukanya memang seperti luka bakar. Dengan ciri-ciri memerah, panas atau nyeri,” kata dia.
Sehingga, ia tidak menyarankan manusia yang menjumpai serangga itu untuk dibunuh. Karena menurutnya, tomcat juga berguna dalam ekosistem. Karena merupakan predator hama padi.
“Dia itu makan hama, untuk karakteristiknya memang soliter. Namun, karena memiliki cairan untuk melumpuhkan mangsanya bisa menyerang kumbang yang ukurannya lebih besar, meski biasanya cenderung menyerang hama-hama yang pada tahap belum dewasa,” ujarnya.
Kasus banyaknya serangga tomcat saat ini, menurut Trisnowati juga adanya pengaruh pada perubahan cuaca, dimana dari informasinya, serangga ini populasi terbanyak pada saat musim penghujan. Terlebih saat ini Indonesia sedang terdampak badai El Nino dan El Nina sehingga memiliki curah hujan yang terus tinggi.
“Kemudian mereka tempat tinggalnya di persawahan, kemudian sekarang sawah sudah banyak yang menjadi perumahan. Sehingga mereka akhirnya kehilangan rumah dan menuju ke rumah-rumah warga. Selain itu mereka juga tertarik dengan cahaya, pada saat ada lampu mereka akan berkumpul,” kata dia.