Hampir di setiap momen sakral beragama, umat Islam selalu berdebat yang tidak berguna. Sia-sia belaka. Dan itu berulang terus berulang, tak ada solusi. Solusinya hanya kepuasan nafsu yang terlampiaskan dikarenakan bisa menjatuhkan lawan, dengan dalil, dengan logika, bahkan dengan debat kusir. Mari kita review kembali perdebatan sampah yang terus terjadi sepanjang tahun dan berulang-ulang pada setiap momen yang dianggap sakral oleh umat beragama, baik secara keseluruhan atau sebagian. Kita mulai dari masalah atau momentum yang terjadi di bulan Sya’ban, di mana artikel ini saya tulis.
Baik dalam orasi terbuka, dalam forum terbatas atau bebas, maupun di medsos, berupa tulisan-tulisan, twiter,fb,wa, dan atau ceramah di kanal Youtube, umat islam berdebat kembali tentang bulan sya’ban, fadlilah dan amaliyahnya, dan tradisi yang biasa dilakukan sebagian besar umat islam di Indonesia. Orang NU jelas memandang bahwa Bulan Sya’ban termasuk bulan yang mulia, dan berdasarkan banyak hadist, memiliki banyak fadlilah. Amaliyah seperti puasa sunat, sholat malam, bahkan kegiatan Nisfu Sya’ban pada pertengahan Bulan Sya’ban, sangat dianjurkan. Bahkan sudah menjadi tradisi tahunan, pada Bulan Sya’ban ini, banyak anggota masyarakat mengadakan ziarah kubur kepada para orang tua, saudara,kerabat, yang telah meninggal dunia. Ziarah ini pun menjadi perdebatan, perlu tidaknya. Mengirim doa dari rumah kan bisa. Kirim doa pun jadi bahan debat, sampai apa tidak. Kenapa ziarah harus Bulan Sya’ban, bulan yang lain kan bisa.
Bulan Sya’ban disebut juga bulan Ruwah, dalam kalender Jawa. Artinya bulannya para arwah. Jadi orang jawa secara turun temurun menjadikan Bulan Sya’ban sebagai momentum tahunan untuk berziarah kubur. Alasannya bisa juga sederhana, karena kesibukan aktifitas, sehingga saat berlibur, diambilah saat yang tepat secara spiritual dan kepercayaan, yaitu di Bulan Arwah dalam berziarah kubur. Nah, dalam kegiatan ziarah ada tradisi, urf, menyiram air, atau menaburi kembang. Sebagian lain, membelah kelapa, atau meletakkan pelepah pohon pisang di atas makam pasa saat ziarah. Ini pun kembali menjadi perdebatan. Yang ini, karena sudah terbiasa dilakukan secara turun temurun, walau sebagian besar tak tahu dan tak perlu tahu dalil, kelompok lain mengharamkan dengan sejumlah dalil. Sampai disini terus terjadi debat, dan tak pernah menemui kata sepakat.
Menginjak Bulan Ramadhan, muncullah perdebatan baru, walau perdebatan di Bulan Sya’ban masih belum selesai. Dan pasti akan dibuka kembali pada Bulan Sya’ban tahun depan.dst.
Awal Ramadhan, sudah muncul debat, mengenai penentuan tanggal 1 Ramadhan. Methode apa yang paling tepat. Hisab atau rukyat. Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki, dan meyakini serta mengklaim bahwa methode ini adalah yang paling ilmiah, berdasarkan Quran Surat Yunus 5 dan di antara surat Yaasin ayat 38-40 yang menerangkan tentang peredaran matahari dan bulan di dalam yang disebut “manzilah-manzilah”, sehingga perhitungan awal dan akhir Ramadhan ( Idul Fitri), jauh-jauh hari sudah dapat dilakukan. Dan awal Ramadhan sudah disampaikan oleh Muhamnadiyah, tanggal 13 April. Pasti.
NU, dan beberapa Ormas lainnya, bahkan Pemerintah, menggunakan methode rukyatul hilal, disamping juga menggunakan hisab. Rukyah inilah yang menentukan awal dan akhir Ramadhan, dengan menentukan batasan ketinggian hilal di atas ufuk untuk dapat dilihat (imkarurrukyah ). Beda dengan Muhammadiyah. 0,5 derajad saja sudah dihitung bulan baru. NU menentukan ketinggian hilal setidaknya 2,5 derajad di atas ufuk, baru memenuhi kriteria bisa dilihat. Methode rukyah ini berdasarkan hadist Nabi, yang secara spesifik berbicara mengenai Ramadhan. Tsummu liiru’yatihi wa afthiru liiru’yatihi wainghomma ‘alaikum ‘iddata sya’baana tsalaastiina..
Masih di Bulan ramadhan, muncul perdebatan lagi mengenai jumlah rakaat sholat tarawih. 11 atau 23. Yang sesuai sunah yang mana? Kemudian mekanisme sholatnya pun menjadi bahan perdebatan. Ini yang 11 raka’at tarawih. 4-4-3, atau 2-2-2-2-3. Kemudian, kalau yang 23 raka’at, nampaknya sepakat 2-2, sampai 20. Tapi witirnya bagaimana, 2-1, atau langsung tiga. Masak witirnya dicicil 2, baru kemudian satu?
Nah, memasuki Idhul Fitri. Disamping perbedaan kriteria “bulan baru” dan imkarurukyah, dari NU dan Muhamnadiyah, muncul juga kelompok yang dalam menentukan Idhul Fitri berdasarkan pasang surut air laut, seperti jamaah An Nadhir di Sulawesi Selatan. Kelompok Thorekat Naqsabandi di Sumatera Barat, juga selalu “mendahului” dalam berpuasa dan ber Hari Raya, satu,dua dan mu gkin sampai 3 hari dibanding umat Islam lainnya. Ada juga kelompok yang berhari raya, dengan menyamakan waktunya dengan wilayah Arab Saudi. Haaduuuuh…kelompok ABOGE, atau kepercayaan, lain pula. Sampai kemudian muncul wacana perlunya pembuatan kalender hijriyah internasional.
Sungguh ruang dan kontinum umat Islam adalah wilayah yang penuh dengan perdebatan. Belum lagi masalah maulid, Natal, valentine, israk mikraj, melihat salib, dan hal-hal furu’iyah yang selalu dibuat, membuat, perdebatan tak berujung pangkal. Dan itu secara spartan diulang-ulang setiap tahun, tanpa bosan dan lelah. Belum nanti masalah kenegaraan,pemerintahan, syariat, negara Islam. Masya Allah. Tak kunjung selesai. Umat-umat lain yang dianggap “kafir”, sedang bersungguh2 mengeksplorasi ruang angkasa, menuju mars, Bulan, dan wilayah-wilayah misterius lain untuk mengungkap ke-Agungan Tuhan, semesta Alam.Dan tentu masih banyak hal-hal remeh temeh yang selalu menjadi fokus perdebatan kusir umat Islam. Mereka seperti rebut balung tanpa isi. Bagian dari “panjang angan-angan.
Sesungguhnya kalau mereka memahami, ayat walanaa a’maaluna walakum a’maalukum, serta hadist ikhtilafu ummati rohmah, selesailah semua perdebatan kusir, dan umat islam lebih fokus untu menata kehidupan yang sejahtera di dunia, menuju kebahagiaan di syurga. Seperti makna doa sapujagad yang sering kita sampaikan dalam setiap doa.****
By: Toufik Imtikhani.