
SERAYUNEWS – Kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Cilacap tahun 2026 yang ditetapkan Gubernur Jawa Tengah menuai kekecewaan dari kalangan buruh. Pasalnya, kenaikan upah yang hanya sekitar 5 persen dinilai belum mampu menjawab kebutuhan hidup layak pekerja di tengah melonjaknya harga barang dan jasa.
Berdasarkan penetapan tersebut, UMK Cilacap 2026 naik dari Rp2.640.248 menjadi Rp2.773.184 atau bertambah sekitar Rp132.936. Angka ini disebut masih jauh dari harapan buruh yang selama ini memperjuangkan upah yang sesuai dengan kondisi riil ekonomi di lapangan.
Ketua Aliansi Serikat Pekerja / Serikat Buruh (SPSB) Cilacap, Dwiantoro Widagdo, menilai kenaikan UMK tersebut tidak sebanding dengan Komponen Hidup Layak (KHL) yang berlaku saat ini. Ia menyebut nilai KHL di Cilacap telah mencapai Rp 3,3 juta, sementara KHL Jawa Tengah berada di angka Rp3,5 juta.
“Dari data itu sangat jelas, kehidupan buruh Cilacap semakin jauh dari kata layak. Bahkan buruh terancam hidup pada standar kemiskinan,” ujar Dwiantoro, Kamis (25/12/2025).
Selain KHL, Dwiantoro juga menyoroti Indeks Harga Konsumen (IHK) di Cilacap yang mengalami kenaikan hingga 109 persen, atau terjadi peningkatan harga barang dan jasa sekitar 9 persen. Menurutnya, kenaikan upah sebesar 5 persen jelas tidak mampu mengimbangi laju inflasi.
“Dengan kenaikan upah yang lebih rendah dari kenaikan harga, daya beli buruh pasti terus tergerus. Sampai hari ini kami juga belum melihat adanya kebijakan nyata dari Bupati Cilacap yang berpihak pada kesejahteraan pekerja,” tegasnya.
Kekecewaan serupa juga disampaikan Teguh Purwanto, aktivis buruh Cilacap. Ia menilai usulan besaran UMK Cilacap 2026 yang diajukan Bupati tidak sejalan dengan hasil Rapat Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Cilacap.
Dalam berita acara rapat tersebut, terdapat empat usulan angka dari masing-masing unsur. Unsur Apindo merekomendasikan kenaikan 3,98 persen, unsur pemerintah mengusulkan 6,16 persen, unsur akademisi sebesar 7,16 persen, dan unsur pekerja/buruh mengusulkan kenaikan tertinggi yakni 7,29 persen.
“Namun yang muncul justru angka 5 persen. Ini mengindikasikan rekomendasi Dewan Pengupahan diabaikan. Ini sebuah kebijakan yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya.